365 hari
Aku Disya Lestari, teman-teman ku memanggil ku Disya. Ahh sudahlah tidak penting, disini aku hanya ingin bercerita sedikit keributan yang terjadi di otak dan hatiku. Tahun 2018 aku sempat dekat dengan lelaki, sebut saja Hafi, lelaki berkulit sawo matang dengan senyuman manis yang selalu muncul tat kala senja indah menyapa.
Aku tidak tahu, aku bagian dari senja itu atau bukan, yang pasti waktu telah memberikan ku sebuah kesempatan untuk sempat melukis kanvas putih ini bersama nya. Dia duduk di bangku paling belakang kelas ku, setiap pagi dia terduduk dengan Al-Qur'an yang berada di tangan nya.
Aku sendiri tidak tahu apa alasan pasti dia pindah ke sekolah ini, pernah sekali aku tanya dan ia menjawab, “karena orang tua ku bertemu di madrasah ini, Dis.”
Aku yang mendengar pun hanya tersenyum, malam itu, di mana tahun mulai berganti. Dia mengirimkan pesan apakah aku ada waktu untuk merayakan tahun baru bersama nya, di Malioboro. Tidak mungkin aku sia-siakan kesempatan itu, sesampainya kami disana membuat ku melahirkan kebahagiaan baru. Aku dan dia menyaksikan ledakan indah warna-warni yang berada di langit-langit Jogjakarta.
Senyuman kami pudar, kala itu ada kembang api yang membuat keadaan sedikit kacau, dia merangkul aku lalu mengatakan, “maaf ya kalau lancang, takut kamu kena, sekarang kita menjauh.”
Aku yang di rangkul hanya tersenyum, singkat waktu kami pulang. Di tengah perjalanan aku ingin membuka percakapan, otakku muncul pertanyaan untukku lontarkan di tengah dinginnya Jogjakarta. “Habis lulus mau ngapain, Haf?” Tanya ku dengan kepala yang mendekat ke arah kuping nya. Lalu lelaki ini menjawab, “mau nyelesain hafalan surat Ar Rahman, untuk hadiah buat calon istriku kelak.” Aku membenarkan posisi, ku tatap wajah nya diam-diam lewat spion, tak ku gubris lagi jawabannya.
Malam itu berakhir, suatu ketika aku dan teman sekelas ku memutuskan untuk pergi ke pantai bersama. Tubuhku ini sangat tidak bisa memilih waktu yang tepat, di perjalanan pulang ternyata aku sakit. Lelaki ini mungkin khawatir, ia mengatakan, “tangan kiri mu mana?” Kuberikan jemari ku, dengan santai ia menggenggam nya dan menautkan kedua jemari kami lalu dimasukkan kedalam saku Hoodie miliknya. Ia kembali berkata, “maaf tangan kanannya engga aku genggam soalnya tangan kananku buat nyetir, masukkan aja tangan kananmu itu ke saku ku.”
Aku hanya mengangguk mengerti, tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang. Aku benar-benar tidak kuat atas perlakuannya, akhirnya aku memberanikan diri membuka percakapan. “Aku gapapa, lepasin aja, ini perjalanan masih 2 jam nanti kamu cape.”
Ia tersenyum lalu berkata, “kamu itu tanggung jawab aku, dan kamu harus tetap baik-baik aja, tangan mu bakal ku lepas kalau sudah sampai depan rumah mu.”
Aku hanya terdiam dengan sejuta teriakan yang terkunci di otakku.
Singkat waktu kami semakin dekat, sampai semua orang menganggap kami punya hubungan. Padahal ya, hanya teman.
Bulan April datang, virus jahat ini mulai menguasai tahun 2020. Di tahun itu adalah tahun kelulusan kami, kami saling menjauh tanpa bertukar kabar. Tidak ada alasan untuk kami bertemu, aku segan untuk menghubunginya. Ternyata nomor telepon genggam nya sudah mati, tidak ada penghuni.
Setahun tak bertukar kabar, akhirnya aku memutuskan menanyakan kabarnya lewat future DM Instagram, ternyata aktif, dia meminta nomor teleponku. Kami kembali dekat, hahaha tidak, hanya aku yang menganggap nya dekat.
Beberapa minggu kami saling mengobrol lewat chat, tiba-tiba saja ia membuat status di WhatsApp, fotonya dengan seorang gadis manis yang berdiri tepat disampingnya. Tak lama setelah foto itu terdapat status WhatsApp baru, fotonya bersama beberapa keluarga, dan mungkin bersama keluarga gadis manis nya itu. Seperti nya lamaran, aku terdiam di atas ranjang, otakku benar-benar membeku.
Aku malu, sempat berpikir kembali dekat dan menjalin hubungan lebih dengannya. Dan selama satu tahun itu mungkin hanya aku yang berharap lebih. Ternyata aku bukan senja yang menjadi alasan nya tersenyum, aku hanyalah bulan yang menemani langit di kala malam.
Aku tersenyum kecut, dan berterima kasih dalam diam karena Hafi telah menemani ku selama 365 hari di bawah langit Jogjakarta.
Beruntung nya wanita itu mendapatkan hadiah surat Ar Rahman yang selama ini Hafi perjuangkan.