Malla, maaf
“Nihhh”
“Ehh kaget gue!” Seru Fasya yang kaget akibat suara Samudra secara tiba-tiba. “Ambil tuh sya” tihtah Biru
“Apa?” Fasya bingung apa maksut Biru “Ini nasgor buat lu, belom makan kan? tadi Biru nitip di gue” jelas Samudra
Fasya pun mengambil plastik kresek yang berisi nasi goreng. “Berapa Sam?” “Udah gausah”
Samudra pun duduk di kursi yang berada di pojok kamar. “Kapan mau ngomong sama Mahen kalo sakit?” Tanya Samudra
“Ga tau bang, bingung” jawab biru, dirinya sangat takut jika Mahendra sedih mengetahui keadaan Sabiru sekarang. “Iya Biru lu harus ngomong, lu mau alesan apa kalau Mahen nyari lu di apart?”
Sabiru melirik pojok jendela yang terdapat kaktus mini yang ia beli serta surat yang ia tulis untuk Mahen. 'aku harus apa hen? Aku ga kuat' lirih nya dalam hati.
“Nunggu apa malla? Kenapa ga jujur aja sih” sela Samudra dengan nada tinggi. Sabiru yang meratapi kaktus mini tadi pun kini melirik sang kakak. “Malla bingung”
“Nunggu kamu ga ada ha!” Tiba-tiba saja Samudra mengeluarkan kalimat yang membuat Sabiru dan Fasya kaget.
Terdiam. Itulah keaadan Biru sekarang dirinya membeku akibat kalimat sang Abang.
“Sam!!” Teriak Fasya
Entahlah perasaan Sabiru kini sangat gusar, hatinya seperti ada yang menyerang secara tiba-tiba. Air mata kembali turun, bola mata nya tampak bergetar, pipi Sabiru melembab.
“Malla, maafin abang” Samudra mendekat ke arah Biru, pemilik nama Biru ini masih senantiasa terdiam dengan mata yang terus meneteskan air mata.
“Pergi!! Gausah deketin biru” teriak Fasya. Fasya tak hanya diam, dengan air mata yang tersirat, ia dengan kokoh mendorong Samudra kearah pintu keluar.
“Malam ini gue yang jaga biru! Lu pulang!” Fasya benar-benar tidak percaya sosok kakak milik Biru ini mampu mengeluarkan kalimat yang bahkan tak pernah Fasya pikirkan.
“Jangan bikin Biru tambah sakit!”
“Malla maaf malla Abang ga sengaja” Samudra mulai menjauh dari Biru akibat dorongan dari Fasya.
Biru masih terdiam, air mata masih terus mengalir. Setelah Samudra pergi segera Fasya mendekati Biru.
“Biru, jangan dengerin ya bir. Plis birr” dengan tangis ia memeluk erat tubuh Biru. “Yang di bilang bang Sam bener, bentar lagi gue ga ada” kalimat itu terhenti
“Liat tangan gue sya, liat badan gue yg di pasangin alat aneh-aneh, mau ke kamar mandi aja gue udah ga kuat. Denger suara gue? Bahkan setiap kalimat yang gue keluarin itu hampir ga kedengaran di kuping lu” lanjut Biru
“Gue denger bir! Suara lu ga ilang suara lu ga berubah”
“Syaaa.... Suara gue berubah, udah ga sekeras dulu. Buat ngomong aja ga kuat, sakit”
“Biru!” Fasya teriak dengan isak tangis. Biru mengeratkan pelukannya “Fasya”