'papa, Malla cape'

Kaki nya kembali melangkah ke tanah lembab itu. Seruan jangkrik yang berpadu ria tak membuat tekat Sabiru luntur.

Wanita ini semakin pantang untuk mundur, berdiri mematung menatap gundukan tanah di depannya kemana lagi jika bukan makam sang ayah.

“Papa, malla balik lagi” satu kalimat muncul dengan tenang. Tak di lanjutkan kalimat itu, bibirnya bungkam jemari indah mencoba mengelus batu nisan milik papanya.

Semuanya ingin ia curahkan kepada sang ayah, sayang bibir kepunyaannya masih tetap terdiam. Hati rapuh nya tak mampu membisikkan kata demi kata.

Langit pekat nan gelap tak melunturkan niatnya untuk tetap berada di gundukan tanah ini. Tak peduli apa yang berada di kanan dan di kiri wanita manis ini melipatkan kaki lalu berjongkok di tanah.

“Papa tau? Dunia sedang bercanda dengan malla” di usapnya kembali batu nisan milik ayahnya.

“Papa kenapa sembunyikan kenyataan itu? Kenyataan kalau malla punya kakak laki-laki. Malla ga akan nolak bang Sam nyatanya sosok itu yang dari dulu malla tunggu tunggu, tapi kenapa papa dan mama sembunyikan hemm? Atau malla yang terlalu jahat buat bang Sam?”

Tak bisa di pungkiri air mata Malla Sabiru mulai berguguran, kaki tiba-tiba saja menjadi lemas.

“Papa tau yang lebih lucu lagi?”

Kalimat itu terpotong, ia tak sanggup membayangkan apa yang akan ia adukan. Tidak ada yang menyuruhnya membayangkan tetapi bayangan ini selalu datang saat Biru mengingat atau mengucap dalam lisan.

“Mahendra, laki-laki yang selalu malla cerita kan saat malla datang mengunjungi papa. Dia bermain dengan sahabat wanita nya, jika itu sekedar permainan bocah cilik mungkin malla ga akan sekecewa ini. Kenapa permainan manusia dewasa sungguh menyakitkan pa?”

Tangan kanan nya menghapus beberapa tetesan air yang keluar dari mata. Bibirnya bergetar hebat tak sanggup meneruskan Kalimat.

“Ma-malla pa, ma-malla kena penyakit yang cukup parah pa”

Bahkan tangan kanan nya saja tak cukup untuk menghapus aliran air milik sang mata, air ini sungguh tidak tahu diri kenapa ia terus terusan terjatuh dari mata Biru?

“Malla nanggung semua nya sendiri pa, malla ga kuat papa. Malla kerja dari pagi sampe malem, malla bolos kuliah malla, malla ga cerita ke mama. Malla diem pa Malla mendem semuanya sendiri”

Kalimat ini ternyata bisa di teruskan kembali

“Ma-malla sakit papa malla ga kuat, papa tahu? Malla kerja buat biaya malla operasi, kadang ga jarang malla lagi kerja kepala malla kumat. Kadang buat makan pun malla ga kepikiran pa, mau seneng seneng aja malla rasa itu bukan waktu yang tepat buat sekarang”

Kedua telapak tangannya sempurna menutupi wajah manis milik Biru.

“Waktu demi waktu malla ulur biar dapet biaya buat pengobatan malla, kepala malla makin sakit pa. Setiap hari makin parah sakit nya”

Tanpa sadar wanita ini memukul kepalanya sendiri, rasanya sangat frustasi. Jika kepala bisa di ganti mungkin akan ia ganti saat itu juga, benar-benar tak berhenti Sabiru memukul kepala nya dengan tangisan yang semakin kuat.

“Malla!!!” Teriak sosok lelaki dari kejauhan berlari mendekat kearah Malla Sabiru.

“Malla kenapa kepala nya di pukul pukul stop malla stop udah sayang nya Abang udah jangan dek sakit itu sakit” Lincahnya tangan Samudra memegangi tangan biru yang tak henti memukul kepalanya sendiri

“Abangg malla capek bangg malla capekk” teriak histeris biru dengan telapak tangan di wajah yang sudah menyingkir.

“Ada abang sayang ada abang, Abang ga kemana mana malla abang disini buat malla” Di rentangankan tangannya dan tanpa izin Samudra memeluk erat tubuh sang adik.

“Sayang capek ya? Malla capek? Malla nangis kaya gini buat abang ikutan nangis malla”

Elusan tangan Samudra di kepala Biru membuat Sabiru merasa aman dan nyaman benar-benar seperti abang yang menjaga adiknya.

“Nangis sepuasnya malla, kapan pun malla mau nangis abang ada buat malla. Kalau perlu kita nangis sama-sama biar abang juga ngerasain sakitnya malla”

“Abang malla ga kuat mau nyusul papa, malla malla capek abang” benar-benar histeris tangisan malla tidak pudar sedikit pun.

“Hussss kamu ngomong apa sih malla, sadar malla itu ga bener sayang”

Pepohonan rindang serta jangkrik-jangkrik di sekitar menjadi saksi sakitnya yang Sabiru rasakan sekaligus menjadi saksi bahwa Samudra benar benar menjadi sosok kakak yang sebenar benarnya.