Puncak Becici
“Jadi?” celetuk Mahendra secara tiba-tiba “Apanya? Ohh hahaha bercanda, kak!”
“Bukan, bukan itu. Soal kenapa lu? ada masalah?” Tanya Mahendra santai dengan bola mata yang terfokus menatap kota dari ketinggian.
Tidak ada jawaban dari bibir Dara. Wanita ini terdiam menatap fokus lampu-lampu yang seakan berlomba siapa yang paling terang. Bibir Dara tersenyum, senyum yang menyirat kan sesuatu. “Kenapa?” Tanya Mahendra, lagi.
“Cape” satu kata yang dapat Shandra ucap kan, kedua kaki nya ia hentak-hentakan bersamaan. Mata Shandara kini menatap kaki yang sedang menyembunyikan sesuatu. Gigi nya tak tinggal diam, Shandra menggigit bibir bawah miliknya.
Kini Mahendra menatap gadis di sebelah nya, meraba apa yang terjadi pada Shandara. “Bener kata kakak di chat tadi, gue ga bahagia dirumah. Gue takut banget setiap pulang kerumah, katanya rumah tempat teraman tapi nyata nya rumah bagaikan neraka buat gue.” Jelas Shandara.
“Soal papa lu?.”
Deggg!! satu pertanyaan yang mampu membuat Dara terkaget-kaget, dirinya membeku, Shandara memainkan kedua jemari nya. Ibu jari dan jari telunjuk saling bertemu, bertukar rasa lara.
“Dar, engga papa. Takut? hmm? kakak disini ga bakal nyalahin Dara, kakak ga bakal mojokin Dara. Kak Mahen bakal bantu Dara.” Lelaki ini sangat halus dalam bertutur, dirinya sendiri bingung kenapa bisa ia sepeduli ini dengan sosok Shandara.
“Kak, gue kotor” mata Dara mulai berkaca-kaca, jemari tadi semakin kencang saja bertukar lara.
“Dar? jangan bilang?” Mahendra cukup kaget mendengar kata yang keluar dari mulut Dara.
“Jari nya, Dara. Jangan di gituin nanti berdarah, jangan di kelopekin.” Lanjut Mahendra sembari menarik jemari Shandara.
“Kak.” Panggil Shandara, mata nya jelas mengeluarkan air. “Dara di apain?” mata Mahendra fokus menatap wanita di samping nya ini. “Ga sampai situ si kak, tapi sama aja” ucapan Dara gantung
“sama aja Dara kotor.” Lanjut Dara dengan lirihan pelan. “Suttt suttt, siapa yang kotor hmm? ga boleh ngomong gitu ya, Dar?” Mahendra ingin ikut menangis saja rasanya.
“Mau nangis? nangis aja, ga ada yang liat. Mau bersandar? ada bahu kakak.”
“Kak, Dara takut.” Air mata dara mulai mengalir kencang. “Ada kakak, Dar.”
“Dara takut, di rumah serem. Setiap Dara pulang, Dara harus cepet-cepet masuk kamar. Kalau di rumah ga ada mama sama kak Nana, Dara selalu kunci pintu kamar dan bener, papa selalu gedor kamar Dara kalo di rumah cuma berdua. Itu bukan rumah kak, tempet itu kayak neraka buat Dara.”
Mahendra senantiasa menatap lekat mata Shandara, di genggam erat tangan Dara. “Dara, jangan takut ya? ada kak Mahen disini.”
Sesak rasa dada, Dara benar-benar tak mampu harus berkata apa. Sedari kecil mendengar keributan rumah tangga papa dan mama nya, sempat tergores rasa trauma. Beranjak dewasa Shandara sadar, tidak semua lelaki seperti itu, tidak semua pernikahan berujung kegagalan.
“Sesek dada nya?.” Tanya Mahendra. Hanya di balas anggukan kecil oleh Shandara, mata Dara sangat merah, bibir nya pucat bak orang sedang sakit.
“Maaf kalau lancang, Dara mau peluk?.” Halus sekali suara ini terlintas di kuping Shandara.