Tante Sasa

“Mahendra” panggil perempuan paruh baya dari ambang pintu rumah. Mahendra menuruni mobil yang ia bawa, perlahan Mahendra mendekati wanita itu, mama Malla Sabiru.

“Tidak apa-apa, semua baik-baik saja, nak. Peluk mama sayang, jangan nangis sendiri.” Mahendra pun merentangkan kedua tangannya, menggapai tubuh mama kekasih nya yang telah tiada. “Mahen minta maaf, Mahen nyakitin Biru, Mahen duain Biru, Mahen jahat, ma.”

Tangisan Mahendra pecah saat ia menggapai tubuh tante Sasa, mata nya sudah banjir, pundak tante Sasa di penuhi air mata Mahendra. Semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa di harapkan, Malla Sabiru telah pergi seutuhnya, bahkan jejak kaki Sabiru telah hilang dari satu tahun lalu.

Jika waktu bisa di putar, mungkin Mahendra akan tetap memilih menemani Sabiru di apartemen. Tapi takdir berkata lain, rasa iba Mahendra tiba-tiba menjadi rasa nafsu.

Kala itu, Ayana sedang merasa hidupnya hancur. Sosok mama yang selalu papa nya janjikan tak kunjung datang, rasa cemburunya terhadap Sabiru membuat Ayana lupa diri. Niat hati ingin menyegarkan pikiran, sudah menjadi kebiasaan Ayana jika sedang mengalami masalah ia memilih untuk minum minuman alkohol. Mahendra mendatangi Ayana berniat mencegah wanita ini untuk minum terlalu banyak, tapi si licik datang menguasai akal sehat Mahendra dan Ayana.

Kesalahan fatal bukan? bahkan Mahendra sempat menjalin hubungan bersama Ayana selama beberapa bulan, di belakang Biru.

Tuhan terlalu sempurna menciptakan gadis ini, akal nya tak berjalan lancar, kuping nya hanya mendengar kan kata hati. Dengan lapang dada Sabiru memberi kesempatan kedua untuk Mahendra.

Tante Sasa mendekap pipi Mahen dengan kedua tangannya, “Sayang, itu masa lalu nak. Semua sudah terjadi, untuk apa di ungkit lagi? mama udah maafin Mahen, mama udah maafin Ayana. Kita manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, yang terpenting jadikan itu pelajaran, jangan di ulangi. Masa depan Mahen di perbaiki ya nak, jangan Mahen lakuin lagi kesalahan yang terjadi di masa lalu. Mahen kuat, mama tau itu. Malla bakal sedih kalau liat mahen terus-terusan seperti ini, bangkit sayang, kamu bisa.” Tangis telah pergi, tetapi wajah lusuh Mahendra tetap tertera sangat jelas.

“Ayo masuk, mama Sasa masak opor ayam kesukaan Mahen. Di dalem udah ada Samudra sama Ayana, sama Maya juga cucu mama, cantik.”