Skyvalesya

Tetangga kok gitu?

Aku mengerutkan dahi, apa yang akan lelaki itu lakukan? Hanya memasak? Ya, pasti hanya memasak. Kaki ku terus berjalan untuk ke seberang rumah. Rumah David dan rumahku hanya terpisah oleh jalanan yang tak cukup besar. Ku ketuk pintu rumahnya, tidak ada yang merespon. Seperti biasa, aku langsung saja membuka pintu rumah David, ternyata tidak di kunci.

“Dav?” Teriakku sambil berjalan kearah kamarnya. Aku buka saja pintu kamarnya tanpa permisi, kemana anak ini? Mengapa dia menghilang? Terlintas di pikiranku untuk sekedar menata wajah dan penampilan, akhirnya aku menuju cermin besar yang berada di kamar David. Cantik juga. Aku sudah menyukai lelaki ini sejak lama, kita hanya berteman. Tetapi aku rasa kita tidak bisa disebut sekedar teman setelah apa yang kita lakukan.

Aku tersipu malu saat mengingat pertama kali David menatapku di busa empuk kamarku. Dia menatapku dan berkata bahwa aku cantik, benar-benar seperti manusia hilang kewarasan. “Emhhh,” tiba-tiba ada suara seorang lelaki yang sangat akrab dengan kupingku. Orang ini mengeluarkan suara sambil memelukku dari belakang, “nyaman,” sambungnya membuat aku tersipu malu. David Maharda, lelaki ini muncul tanpa sepengetahuanku. Hanya mengenakan celana pendek tanpa kain di badannya.

“Makan ya? Gue masak dulu,”

“Kamu,” jawab singkat David yang membuatku sedikit bingung, barusan dia memanggilku dengan sebutan 'kamu' apa aku tidak salah dengar? Terakhir kali dia memanggilku seperti itu sejak beberapa bulan yang lalu, saat kita melakukan kegiatan 'itu' untuk pertama kalinya di rumahku, di kamarku, lebih tepatnya di ranjang ku.

Aku sedikit merinding saat tangan David mulai menggerayangi perutku, ia mengusap pelan dengan kepala yang masih terbenam di leherku. Aku yang di perlakukan seperti itu hanya bisa mendongakkan kepala dan memberi akses agar David leluasa menjamah leherku. Tangannya mulai nakal, jemari David mulai mampir menyapa payudaraku. Benar-benar nakal, “lucu,” celetuknya saat ujung telunjuk memainkan nipple milikku. “Kak Dav!” Aku berteriak, pasalnya telunjuk David semakin jadi bermain di sana.

David membalikkan badanku, manatap wajahku sejenak lalu tersenyum. “Apa?” Tanyaku, aku bingung mengapa lelaki ini tersenyum tanpa alasan. David menggeleng. Ibu jarinya menghelus bibirku. Merinding sekali. “Mutia, bibir ini punya aku, kan?” Tanyanya dengan suara pelan yang membisik kupingku. Jelas punyamu, mengapa dia harus bertanya? Geli, lidahnya menyapa kelopak kupingku, “shh kak Dav,” rintih ini sudah tidak bisa aku tahan

Lelaki ini berjalan menjauhi ku, apa maksudnya? “Sini, Mutia.” Perintah David saat pantatnya terduduk di pojok ranjang. “Eungg?” Kataku sambil memiringkan kepala.

“Sini,” tangannya menepuk ruang kosong di samping tubuhnya. Aku hanya mengikuti perintah David dan berjalan mendekatinya. Setelah sampai di sampingnya, David mendorong tubuhku begitu saja. Hempasan yang membuatku mengingat kembali kejadian beberapa bulan lalu. Ia menindih tubuhku. “Cantik,” katanya. Gawat, jantungku ingin beranjak dari tempatnya. Benar-benar seperti kejadian beberapa bulan lalu, dia kembali memujiku cantik.

Perlahan ia mengecup bibirku, berawal kecupan, menjadi lumatan. Dia melakukan dengan baik, ciuman yang membuatku tak mampu menjauh darinya. Bibir saling sibuk menikmati satu sama lain. Tangannya yang mulai menyapa kembali payudaraku, ya lagi-lagi lelaki ini memainkan benda kecil itu. “K-kak David emm,” aku melepaskan tautan bibir. David tersenyum puas.

“Gue suka,” ucapnya singkat. Tangan kirinya tidak menganggur. Menghampiri setiap inci pahaku. Matanya masih terus manatap wajah ku dengan senyum itu. Setelah puas ia memainkan pahaku, kini tangannya semakin gencar menghampiri benda sensitif ku. “Kak, emm jangan gini,” bukannya menjawab justru lelaki ini semakin liar di bawah sana, dua jarinya sudah berada di liang nikmatku, bergerak dengan tempo cepat. Senyumnya semakin sumringah saat melihat wajahku menampilkan wajah tersiksa akibat perlakuannya. “Kak akhh u-udah,”

“Tau ga kenapa aku bilang tadi aku suka?” Aku pun menggeleng cepat. “Aku suka kamu manggil aku dengan sebutan 'kak',”

“Aku bingung, kenapa kamu cuma manggil aku dengan embel-embel 'kak' saat kita ngelakuin hal intim? Kenapa ga setiap hari aja?” Aku membeku, iya juga, mengapa aku hanya memanggilnya dengan sebutan itu saat sedang melakukan hal-hal intim.

David tersenyum lalu mendekati wajah tampannya itu ke kupingku, lalu ia membisik, “udah ga tahan, ya?”

Gila, David Maharda benar-benar gila. “Apaan sih!” Ku dorong kuat dada bidangnya. Bukannya marah ia malah tersenyum dan berkata, “sabar, ya, sayang.”

Aku terdiam dengan posisi yang sama, menatapnya yang mulai membuka celana pendek yang ia kenakan. Aku menelan ludah, ini sudah kedua kalinya melihat kepunyaan David, tapi mengapa aku masih tetap kaget. David mendekatiku dan tidur di sampingku. Ia menuntunku untuk menaiki tubuhnya. “Takut,” kataku. Jujur aku tidak yakin bisa memimpin permainan ini. “Bisa, aku bantu.”

Lelaki itu membantuku untuk menautkan milikku dan miliknya. “Ahh kak Dav, penuh!” Teriakku. “Bisa sayang.”

Setelah masuk sepenuhnya, ia berkata, “diamkan dulu biar terbiasa,” entahlah, kalimat itu cukup membuatku tenang.

Tak lama, tangannya menggapai pinggulku dan mulai membantuku untuk bergerak. “Kak,”

“Hmm? Shhh,” rintihannya mengapa bisa secandu itu? Bagian bawah sibuk ia kuasai, tidak dibiarkan benda kenyal di dadaku menganggur begitu saja. Ia gapai, lalu di remas perlahan. Tidak lupa, dia kembali memainkan benda kecil itu.

“Kak David, emm-”

“mmau keluar,” mata ku terpejam saat David mulai menghentakkan beberapa kali tautan bagian bawah kami. “Bersama cantik.”

“Dav!!” Teriakku saat ia menekan dan mengeluarkannya di dalam. Aku berteriak karena kepanikan menghampiri diriku. “Dav! Lo gila?” Nada ku meninggi. Ia dengan cepat menarik lenganku dan menenggelamkan tubuhku di dada bidangnya. Jujur ini sangat nyaman, tetapi kekhawatiran ku tetap menghantui otak. Ku pukul saja dadanya menggunakan kedua tanganku.

“Sutttt sutttt tenang, sayang.” Ucapnya diiringi elusan pada pucuk kepalaku. Seketika aku tenang. Aneh.

David mengecup pucuk dahiku, “Besok aku kerumah kamu, minta restu sama tante dan om.”

JiVell.

Benar saja, setelah Vellin membuka pintu apartemen. Terdapat Jinandra yang terduduk di sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Matanya sangat tajam, menatap Vellin dari kepala hingga ujung kaki. Mulut Jinandra tetap membisu, Vellin benar-benar merasa sedang di kandang harimau. “Pinter, bajunya kenapa begitu?” Ucap Jinandra, matanya masih terus membidik paras Vellin. “Emm....,” seketika bibir perempuan ini terkatup, tak ada pembelaan yang berani Vellin lontarkan.

“Jawab, Vel.”

“Ya karena gue mau! Lo kenapa sih ngatur gue? Kita cuma temen! Jadi jangan atur-atur hidup gue.” Tegas Vellin, jujur saja. Vellin sangat takut sekarang. Jinandra berdiri dan mulai melangkahkan kakinya mendekat kearah Vellin, Vellin yang ketakutan hanya bisa memundurkan tubuhnya. Vellin tersentak kaget, pasalnya tubuh indah milik Vellin telah sampai di penghujung dinding. Jinandra tersenyum, bukan, ini bukan sekedar senyum biasa. Vellin tau betul itu adalah senyum mematikan Jinandra setiap kali lelaki ini hendak memangsa Vellin. “Ji...,”

“Hmmm?” Sungguh, hanya kata 'hm' yang keluar dari mulut Jinandra sudah membuat Vellin merinding. “Sekarang aku tanya, maksud kamu pakai baju seperti ini ketempat itu untuk apa?”

Gawat, kalimat Jinandra mulai menyeramkan bagi Vellin, jemari Jinandra menggapai dagu yang ia anggap adalah wanitanya. “Jawab sayang,”

“Anu, ya, ya ga mungkin kan ketempat begitu pakai gamis?” Alasan macam apa ini?

“Ya, aku tau ga mungkin ketempat itu pakai baju tertutup. Tapi ini terlalu terbuka, Vel. Kamu mau goda siapa, hm?” Tanyanya lagi, Vellin sangat ingin melarikan diri dari kandang ini. Seram, sangat.

“Engga ada!”

“Yakin? Aku tergoda, sayang. Kamu tau artinya apa? Aku aja tergoda ngeliat kamu pakai baju ini, terus kamu yakin lelaki di luar sana juga ga tergoda sama keadaan kamu yang begini?”

“Emm, Ji, aku mau bersih-bersih. Minggir.” Sayang sekali, Vellin tidak bisa kabur. Tubuhnya di dekap erat oleh lelaki tampan di depannya.

“Siapa yang ngijinin? Nanti, bersih-bersih nya habis kita olahraga, biar sekalian.” Jinandra kembali mengeluarkan senyum devil. Tidak banyak kata, Jinandra tiba-tiba saja mengangkat tubuh Vellin, dengan santai Jinandra membanting Vellin di kasur king size milik wanita ini. “Kamu yang mancing aku, Vel.”

Jinandra mendekati tubuh Vellin yang terbaring di atas ranjang, lelaki ini tersenyum menggapai rambut Vellin. “Rambutnya aku pinggirin dulu,” bisik Jinandra tepat di kuping Vellin, lalu bibir Jinan tanpa ijin mencicipi setiap inci leher Vellin. Vellin yang di perlakukan seperti itu hanya menikmati setiap perlakuan Jinandra. Vellin mendongakkan kepala.

Tangan lelaki ini tidak bisa diam. Tangannya masuk kedalam baju Vellin, ia elus perlahan punggung wanita ini. Akhirnya jemari Jinandra berhasil melepaskan pengait bra yang Vellin kenakan. Tidak sampai situ, jemari ini sangat lihai memainkan benda kenyal yang berada di dada Vellin. “Emhh... Jihh...,” rintih Vellin.

Setelah puas memainkan benda kenyal, tangan Jinan turun kebawah tak lupa telapak tangannya menyapa perut Vellin. Dengan santai ia lepas celana dalam yang Vellin kenakan. Vellin benar-benar terdiam, tak ada penolakan sedikit pun. Jinandra mulai memainkan benda sensitif milik Vellin. “Jikhh, u-udah...,” pinta Vellin terbata-bata. “Hm? Udah? Ini baru pemanasan, sayang.”

Vellin menelan ludah, dirinya masih sangat takut. “Sekarang kita mulai olahraganya.”

Sejak kapan Jinandra melucuti semua pakaiannya? Vellin tidak sadar, ternyata Jinandra membuka seluruh pakaiannya sambil memanjakan tubuh Vellin tadi.

Tanpa aba-aba Jinandra memasukkan miliknya ke dalam benda intim Vellin, “akh!” Vellin tersentak kaget, satu hentakan berhasil Jinan lakukan. “Pertama, kamu punya aku, sayang.” Hentakan kedua kembali ia lakukan, “kedua, ini hukuman buat kamu karena berani keluar pakai baju kayak gitu.”

“Ketiga, cuma aku yang boleh nyentuh kamu, inget itu!” Ucap Jinandra sambil melakukan hentakan untuk yang ketiga kalinya. “Dan yang terakhir, mulai hari ini kamu wanita aku!” Hentakan terakhir membuat Vellin kaget. “Ji! Sakithh!” Rintihan itu tidak Jinandra hiraukan, lelaki ini justru melakukan hentakan berulang kali pada penyatuan mereka.

Bagian bawahnya sangat sakit akibat perlakuan Jinandra, air mata pun mulai menyapa pipi Vellin. “Jangan nangis, maaf aku kasar.” Jinandra yang sadar bahwa perbuatannya itu sangat kasar pun akhirnya menghentikan kegiatannya, tangis Vellin mulai reda. Jinandra tidak tega melihat wanitanya kesakitan, lelaki ini mengusap pipi Vellin guna menghapus genangan air mata. “Maaf sayang, aku gerakin lagi, ya?” Ijin Jinandra diiringi kecupan bibir manisnya yang mendarat di bibir Vellin.

365 hari

Aku Disya Lestari, teman-teman ku memanggil ku Disya. Ahh sudahlah tidak penting, disini aku hanya ingin bercerita sedikit keributan yang terjadi di otak dan hatiku. Tahun 2018 aku sempat dekat dengan lelaki, sebut saja Hafi, lelaki berkulit sawo matang dengan senyuman manis yang selalu muncul tat kala senja indah menyapa.

Aku tidak tahu, aku bagian dari senja itu atau bukan, yang pasti waktu telah memberikan ku sebuah kesempatan untuk sempat melukis kanvas putih ini bersama nya. Dia duduk di bangku paling belakang kelas ku, setiap pagi dia terduduk dengan Al-Qur'an yang berada di tangan nya.

Aku sendiri tidak tahu apa alasan pasti dia pindah ke sekolah ini, pernah sekali aku tanya dan ia menjawab, “karena orang tua ku bertemu di madrasah ini, Dis.”

Aku yang mendengar pun hanya tersenyum, malam itu, di mana tahun mulai berganti. Dia mengirimkan pesan apakah aku ada waktu untuk merayakan tahun baru bersama nya, di Malioboro. Tidak mungkin aku sia-siakan kesempatan itu, sesampainya kami disana membuat ku melahirkan kebahagiaan baru. Aku dan dia menyaksikan ledakan indah warna-warni yang berada di langit-langit Jogjakarta.

Senyuman kami pudar, kala itu ada kembang api yang membuat keadaan sedikit kacau, dia merangkul aku lalu mengatakan, “maaf ya kalau lancang, takut kamu kena, sekarang kita menjauh.”

Aku yang di rangkul hanya tersenyum, singkat waktu kami pulang. Di tengah perjalanan aku ingin membuka percakapan, otakku muncul pertanyaan untukku lontarkan di tengah dinginnya Jogjakarta. “Habis lulus mau ngapain, Haf?” Tanya ku dengan kepala yang mendekat ke arah kuping nya. Lalu lelaki ini menjawab, “mau nyelesain hafalan surat Ar Rahman, untuk hadiah buat calon istriku kelak.” Aku membenarkan posisi, ku tatap wajah nya diam-diam lewat spion, tak ku gubris lagi jawabannya.

Malam itu berakhir, suatu ketika aku dan teman sekelas ku memutuskan untuk pergi ke pantai bersama. Tubuhku ini sangat tidak bisa memilih waktu yang tepat, di perjalanan pulang ternyata aku sakit. Lelaki ini mungkin khawatir, ia mengatakan, “tangan kiri mu mana?” Kuberikan jemari ku, dengan santai ia menggenggam nya dan menautkan kedua jemari kami lalu dimasukkan kedalam saku Hoodie miliknya. Ia kembali berkata, “maaf tangan kanannya engga aku genggam soalnya tangan kananku buat nyetir, masukkan aja tangan kananmu itu ke saku ku.”

Aku hanya mengangguk mengerti, tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang. Aku benar-benar tidak kuat atas perlakuannya, akhirnya aku memberanikan diri membuka percakapan. “Aku gapapa, lepasin aja, ini perjalanan masih 2 jam nanti kamu cape.”

Ia tersenyum lalu berkata, “kamu itu tanggung jawab aku, dan kamu harus tetap baik-baik aja, tangan mu bakal ku lepas kalau sudah sampai depan rumah mu.”

Aku hanya terdiam dengan sejuta teriakan yang terkunci di otakku.

Singkat waktu kami semakin dekat, sampai semua orang menganggap kami punya hubungan. Padahal ya, hanya teman.

Bulan April datang, virus jahat ini mulai menguasai tahun 2020. Di tahun itu adalah tahun kelulusan kami, kami saling menjauh tanpa bertukar kabar. Tidak ada alasan untuk kami bertemu, aku segan untuk menghubunginya. Ternyata nomor telepon genggam nya sudah mati, tidak ada penghuni.

Setahun tak bertukar kabar, akhirnya aku memutuskan menanyakan kabarnya lewat future DM Instagram, ternyata aktif, dia meminta nomor teleponku. Kami kembali dekat, hahaha tidak, hanya aku yang menganggap nya dekat.

Beberapa minggu kami saling mengobrol lewat chat, tiba-tiba saja ia membuat status di WhatsApp, fotonya dengan seorang gadis manis yang berdiri tepat disampingnya. Tak lama setelah foto itu terdapat status WhatsApp baru, fotonya bersama beberapa keluarga, dan mungkin bersama keluarga gadis manis nya itu. Seperti nya lamaran, aku terdiam di atas ranjang, otakku benar-benar membeku.

Aku malu, sempat berpikir kembali dekat dan menjalin hubungan lebih dengannya. Dan selama satu tahun itu mungkin hanya aku yang berharap lebih. Ternyata aku bukan senja yang menjadi alasan nya tersenyum, aku hanyalah bulan yang menemani langit di kala malam.

Aku tersenyum kecut, dan berterima kasih dalam diam karena Hafi telah menemani ku selama 365 hari di bawah langit Jogjakarta.

Beruntung nya wanita itu mendapatkan hadiah surat Ar Rahman yang selama ini Hafi perjuangkan.

Ujung Kisah

“Shandara,” panggil Mahendra, Shandara yang merasa terpanggil pun menoleh.

Kini mereka tengah berada di atas pasir pantai, mereka berdua terduduk dengan mata yang terfokus menatap laut.

“Iya kak? Kalau boleh tau kenapa kakak takut pantai?” Tanya Shandara penasaran, “sebenarnya bukan takut cuma ga suka. Setiap liat laut semua bayangan buruk tuh selalu aja dateng, dari kejadian di pukulin papa sampai kenangan-kenangan sama Biru.”

“Sekarang masih takut?”

“Udah ga setakut dulu karena sekarang dateng nya bareng kamu,” Mahendra terkekeh, “idih gombal.”

“Sini,” Mahendra menepuk-nepuk pundak nya sendiri, “sandaran di pundak gue, biar semua trauma lu tentang pantai hilang. Jangan berfikir negatif, kejadian Reyhan yang kepantai sama lu sebelum berangkat ke Kanada itu udah takdir. Dan ga ada sangkut pautnya sama kita sekarang, kita pulang dengan selamat dan jika semesta mengijinkan kita bakal bareng terus sampe rambut lu dan gue udah putih-putih kayak di semir.”

Shandara terkekeh akibat kalimat akhir yang Mahen lontarkan, tak lama gadis ini bersandar di bahu Mahendra.

“Kak, makasih buat semuanya, lu bener-bener nuntun gue buat keluar dari semua trauma yang gue alamin, dan gue harap gue juga bisa jadi obat buat luka lama lu, kak.”

“Dara, love you.” Ucap Mahendra singkat, “more kak.” Kedua nya saling bersandar satu sama lain dengan mata yang masih berfokus pada air laut.

Runtuh

Dara terduduk di atas kasur dengan tatapan yang bisa di bilang kosong, wanita ini terdiam menatap sekitar seakan sedang mencari sesuatu. “Dara, kenapa?” Tanya Mahendra yang bingung atas sikap Shandara, Mahendra menggapai tangan Shandara lalu menatap gadis ini dengan seksama.

“Kak Mahen,” lirih Shandara. “Iya, kak Mahen sini. Kenapa?”

Shandara terdiam sejenak lalu menatap temannya satu persatu, “Rey,” setitik kata itu berhasil membuat seisi ruangan kaget, Chaca dan Ella berusaha menahan tangis. Sesak, itu yang tiga sejoli ini rasakan.

“Gue ketemu Reyhan, dia bilang mau pergi. Itu mimpi kan? Reyhan belum ke Indonesia? Gue pengen ketemu Reyhan.” Kalimat ini kembali tidak ada jawaban, “jawab, Reyhan kemana, kenapa semua nya diem? Chaca, lo nangis kenapa?” Shandara mulai panik.

“Dar,”

“Chaca bilang sama gue, ini ada apa?”

“Reyhan kecelakaan pesawat, Dar. Reyhan udah pergi,” kini Aidan angkat bicara, lelaki ini berusaha tetap baik-baik saja. Shandara membeku, matanya memerah, gadis ini mulai menggigit bibir bawah miliknya. Tak bisa ia tahan, air matanya meluncur tanpa ampun.

“GAK! LO SEMUA BOHONG! INI BOHONG! INI MIMPI KAN!” Shandara teriak sejadi-jadinya, tangan nya yang lemah tiba-tiba memiliki kekuatan untuk memukul-mukul kasur.

“REYHAN! GA MUNGKIN LO NINGGALIN GUE KAN? KATANYA LO BAKAL NEMENIN GUE SELAMA NYA, LO SENDIRI YANG BILANG LO BAKAL JADI SAHABAT GUE DAN NEMENIN GUE SELAMA NYA, REY! GA! GA MUNGKIN!” Gadis ini benar-benar histeris, tangannya yang di gunakan untuk memukul kasur kini digunakan untuk menjambak rambut nya sendiri.

“Dara, stop ya, sakit nanti kepala nya,” Mahendra berusaha menenangkan Shandara, lelaki ini berusaha menahan tangan Dara untuk tidak menjambak rambutnya sendiri. Chaca dan Ella hanya bisa terdiam dan menangis melihat sahabatnya yang tengah histeris di atas kasur rumah sakit.

“Kak, Rey kak Rey!!” Adu Shandara, “iya, kakak tau, udah jangan nyakitin diri sendiri.”

Tak lama Tante Sasa muncul, kaget melihat keadaan anaknya, ia langsung mendekat dan memeluk Shandara. “Milla, sayang udah nak, anak Mama jangan gini, ya?” Mama Sasa ikut terisak melihat keadaan putri cantik nya ini.

“M-mama, Reyhan, Reyhan ma,” gadis ini mulai tenang saat mendapat pelukan hangat yang menyelimuti tubuh nya.

Kenyataan Shandara

Shandara telah sampai di rumah nya, anggota keluarga Shandara telah berkumpul di ruang tengah.

“Na, mau ngomong apasih?” Tanya sang Mama. “Kak, apaan si?” Shandara ikut angkat bicara.

“Kamu anak angkat Mama Papa,” ucap Shyana santai, “Nana! Kamu apa-apasn sih!” sang Papa meninggikan suaranya. “Kak? Maksudnya apa?” Tanya Dara dengan jemari yang sibuk memainkan pucuk baju.

“Nana!” Kini sang Mama mengambil alih. “Udah mah!! Mau sampai kapan ngerahasiain ini? Mau sampai kapan kalian nyiksa Dara?”

“Kak apaan sih? Jangan bercanda, mah ini bener?” Mata Shandara menatap lekat sang Mama.

“Kamu adik kandung Biru, kakak yakin, kalung yang ada di Twitter abangnya Biru itu sama persis kalung yang di pakai kamu waktu Mama Papa ngangkat kamu dari panti asuhan.”

Puncak Becici

“Jadi?” celetuk Mahendra secara tiba-tiba “Apanya? Ohh hahaha bercanda, kak!”

“Bukan, bukan itu. Soal kenapa lu? ada masalah?” Tanya Mahendra santai dengan bola mata yang terfokus menatap kota dari ketinggian.

Tidak ada jawaban dari bibir Dara. Wanita ini terdiam menatap fokus lampu-lampu yang seakan berlomba siapa yang paling terang. Bibir Dara tersenyum, senyum yang menyirat kan sesuatu. “Kenapa?” Tanya Mahendra, lagi.

“Cape” satu kata yang dapat Shandra ucap kan, kedua kaki nya ia hentak-hentakan bersamaan. Mata Shandara kini menatap kaki yang sedang menyembunyikan sesuatu. Gigi nya tak tinggal diam, Shandra menggigit bibir bawah miliknya.

Kini Mahendra menatap gadis di sebelah nya, meraba apa yang terjadi pada Shandara. “Bener kata kakak di chat tadi, gue ga bahagia dirumah. Gue takut banget setiap pulang kerumah, katanya rumah tempat teraman tapi nyata nya rumah bagaikan neraka buat gue.” Jelas Shandara.

“Soal papa lu?.”

Deggg!! satu pertanyaan yang mampu membuat Dara terkaget-kaget, dirinya membeku, Shandara memainkan kedua jemari nya. Ibu jari dan jari telunjuk saling bertemu, bertukar rasa lara.

“Dar, engga papa. Takut? hmm? kakak disini ga bakal nyalahin Dara, kakak ga bakal mojokin Dara. Kak Mahen bakal bantu Dara.” Lelaki ini sangat halus dalam bertutur, dirinya sendiri bingung kenapa bisa ia sepeduli ini dengan sosok Shandara.

“Kak, gue kotor” mata Dara mulai berkaca-kaca, jemari tadi semakin kencang saja bertukar lara.

“Dar? jangan bilang?” Mahendra cukup kaget mendengar kata yang keluar dari mulut Dara.

“Jari nya, Dara. Jangan di gituin nanti berdarah, jangan di kelopekin.” Lanjut Mahendra sembari menarik jemari Shandara.

“Kak.” Panggil Shandara, mata nya jelas mengeluarkan air. “Dara di apain?” mata Mahendra fokus menatap wanita di samping nya ini. “Ga sampai situ si kak, tapi sama aja” ucapan Dara gantung

“sama aja Dara kotor.” Lanjut Dara dengan lirihan pelan. “Suttt suttt, siapa yang kotor hmm? ga boleh ngomong gitu ya, Dar?” Mahendra ingin ikut menangis saja rasanya.

“Mau nangis? nangis aja, ga ada yang liat. Mau bersandar? ada bahu kakak.”

“Kak, Dara takut.” Air mata dara mulai mengalir kencang. “Ada kakak, Dar.”

“Dara takut, di rumah serem. Setiap Dara pulang, Dara harus cepet-cepet masuk kamar. Kalau di rumah ga ada mama sama kak Nana, Dara selalu kunci pintu kamar dan bener, papa selalu gedor kamar Dara kalo di rumah cuma berdua. Itu bukan rumah kak, tempet itu kayak neraka buat Dara.”

Mahendra senantiasa menatap lekat mata Shandara, di genggam erat tangan Dara. “Dara, jangan takut ya? ada kak Mahen disini.”

Sesak rasa dada, Dara benar-benar tak mampu harus berkata apa. Sedari kecil mendengar keributan rumah tangga papa dan mama nya, sempat tergores rasa trauma. Beranjak dewasa Shandara sadar, tidak semua lelaki seperti itu, tidak semua pernikahan berujung kegagalan.

“Sesek dada nya?.” Tanya Mahendra. Hanya di balas anggukan kecil oleh Shandara, mata Dara sangat merah, bibir nya pucat bak orang sedang sakit.

“Maaf kalau lancang, Dara mau peluk?.” Halus sekali suara ini terlintas di kuping Shandara.

Malioboro 2

“Danny hapus nggak!” Senja menatap Danny lekat, dengan tangan yang yang bersiap merebut handphone Danny.

“Sen, bagus ini tuh” lelaki itu malah terkekeh ria membuat Senja memanyunkan bibir. “Bibir nya jangan gitu, mirip...” Belum selesai Danny berbicara, sudah di gas oleh Senja.

“Mirip apa!!” “bebek, Sen.”

Danny hanya terus tertawa melihat tingkah Senja, entah sejak kapan tetapi Danny sangat yakin bahwa dirinya nyaman di dekat Senja.

“Whh ini udah jam 00.00 lohh” “iyakah? mana kembang apinya?.” Heboh Senja menatap langit mencari kembang api yang ia tunggu.

“Itu, Sen. Liat dah bagus kan” dengan semangat Danny menunjuk langit.

“Iya, Danny bagus ya gila!” seru Senja histeris sambil tersenyum menikmati pertunjukan kembang api.

'Indah' kata itu yang berada di pikiran Senja “bagus kan?” tanya Danny di kuping Senja, karena situasi sangat ramai Danny harus berbicara sangat keras dan mendekatkan bibir ke kuping Senja.

“Haa? ohh oo iya bagus, Dan” balas Senja, dan ya Senja cukup kaget dengan posisi nya sekarang.

Di tengah suasana canggung menurut Senja, ternyata ada kejadian yang tidak mereka sangka. Salah satu kembang api menyambar ke para penonton, itu cukup membuat penonton heboh.

“Senja! Senja! ayo pergi ngejauh yuk! ntar kena kayak mbaknya yang itu ayok!” heboh Danny teriak di kuping Senja. Tanpa Senja sangka ternyata Danny merangkul nya sangat erat.

“Maaf ya, Sen kalo ga sopan, ini rame banget takut lu nyasar” “iya dan gapapa yuk ngejauh”

'gila deg deg an parah gw' batin Senja.

Akhirnya mereka berhenti di salah satu halte tempat biasanya bus menunggu penumpang. Danny dan Senja mendudukan dirinya di pinggiran halte.

“Disini nggak papa kan, Senja? udah rada jauh kok” “iya gapapa, Dan. Ehh Dinara mana?” tanya Senja.

Sedari tadi Senja tidak melihat Dinara dan kekasih nya.

“Ohh ada, Sen. Tadi dia bilang mau kesana, gapapa kan berdua? ga nyaman ya?” tanya Danny, ia khawatir Senja merasa tidak nyaman di dekatnya.

“Engga gitu, Dan maksut aku. Nyaman kok siapa bilang ngga nyaman” elak Senja.

Namun jawaban Senja malah membuat Danny berfikir ingin menjahili wanita di depannya ini.

“Nyaman, Sen? yakin cuma temen nih kita?”

“Danny apaan si mulai lagi” sinis Senja menatap Danny.

“Hahhaaa lucu banget sih lu, gw bercanda Senja. Gw baru putus juga, kalo sekarang nyari cewe lagi kayak nya engga dulu deh, Sen. lagian gw masih sayang banget sama Unna” kalimat itu keluar dari bibir manis Danny.

“iya Danny jangan nyari pelampiasan ya, selesain dulu masa lalu lu, baru pacaran lagi.”

“Sama lu kan” lagi-lagi Danny membuat Senja ingin menjambaknya. “Dan, mau gw jambak?” “hahahaa bercandaa Senjaaa galak banget si” Danny hanya terkekeh melihat tingkah wanita di depannya ini.

“Senja haus?” tanya Danny “haus si”

“mau minum? yang grobak itu gapapa kan?” “iya gapapa lahh emg kenapa anjir.”

“Yaudah tunggu” Danny segera beranjak dari duduk nya membeli minuman yang Senja inginkan.

“Cepet banget, Dan?” “pakek kekuatan super, Sen” Senja yang mendengar hanya tertawa.

“Nihh” “macha?”

“kenapa? lu kan suka? ga suka ya? Perasaan kemarin pas beli boba lu nyari macha dah” “Danny lu inget? suka gila!”

Senja mengambil minuman dari tangan Danny dan segera menyeruput. “Enak?” “enaklah yang beliin cowo ganteng” celetuk Senja.

“Makasih emang gw cakep, Sen” Danny malah terkekeh mendengar kalimat Senja.

“Ayo, Sen pulang. Nanti kalo kemalaman gw malah di gantung bunda lu” “bunda baik kok Danny, yuk pulang.”

Mereka berdua beranjak dari halte, setelah sampai di parkiran keduanya tidak langsung pulang. Danny dan Senja menunggu Dinara yang entah kemana.

“Duduk dulu, Sen sini” “iya, Danny.”

Senja duduk dan fokus memainkan ponselnya.

“Asik bener, Sen.”

Senja kaget dan langsung meletakkan handphone di samping nya. “Ehh iya haha maag, Dan.”

Tak lama handphone Senja bergetar, bertanda ada notifikasi chat. “Jayden?” Danny tak sengaja melirik handphone Senja. “iya, Dan.”

Entah keberanian dari mana Danny bertanya kepada Senja “lu deket sama Jayden?”

“lumayan, Dan. Cuma temen kok, tapi kadang suka curhat ke juga ke Jay.” Hanya di balas anggukan singkat oleh Danny

Malioboro

Dengan senyum yang mantap Senja keluar dari kayu persegi panjang rumah nya. Danny yang setia menunggu di depan rumah Senja pun tersenyum melihat wanita yang ia tunggu.

“Danny!!” seru Senja dengan suara lantangnya. Kaki nya mulai bergerak mendekati Danny membawa helm bogo coklat kebanggan nya.

“Maaf ya Danny lama nunggu nya” “ngapain minta maaf? ga lama kok.”

Hanya di balas senyuman oleh wanita itu. Entah sejak kapan tetapi wanita itu sangat percaya merasakan kenyamanan di dekat Danny.

“Parfum lu wangi” celetuk Senja.

“Kalo bau mah namanya bukan parfum Senja, yaudah yuk naik! nanti keburu macet jalannya.”

Senja mulai menginjakkan kaki di gagang motor milik Danny, dengan segera Senja menduduki jok motor Danny. “Senja maaf ya naik motor, soal nya takut macet.”

“Apaan sih, Dan. Ngapain minta maaf? lagian malah enak naik motor, silir.” “Sen, udah siap? helm nya udah di pakek?”

“Udah Danny, ayok gas.”

Danny mulai menjalankan kendaraan roda dua nya, entah dari mana asal senyum Danny, lelaki itu senantiasa tersenyum sambil menjalankan motor. “Danny kenapa senyum sendiri sih takut anjir!” seru Senja.

“Gapapa Sen, ga nyangka aja bisa deket sama lu bisa temenan.”

“Tapi kayak orang kesambet tau ga sih?” tanya Senja.

“Hahaha! apaan sih, Sen. Engga lah, kalo gw kesambet nih motor ga jalan.”

Kekehan kecil keluar dari mulut Senja menambah keceriaan Danny di malam itu.

“Bagus ya, Sen.”

“Hah? apa, Dan? apa yang bagus?” Senja tersadar dari lamunan nya, sedari tadi dia hanya fokus menatap langit.

“Langitnya Sen, sampai ngelamun gitu ngeliatnya.”

“Iya, Dan. Gw suka, bagus lagi hahaha sorry, Dan.” “Gapapa Senja, gw juga suka langit kok.”

Tak terasa perjalanan mereka selesai, parkiran mulai ramai, banyak pengunjung yang ingin menonton pertunjukkan kembang api tersebut. “Danny di situ aja!” suruh Senja

“Ohh iya di situ kosong ya, Sen.”

Danny perlahan mulai menghentikan motornya dan menyetandarkan kendaraan roda dua kesayangan nya. “Sebentar ya, Sen.”

Danny mengambil ponsel dari saku, ia mulai mencari kontak yang ia cari. Segera Danny memencet tombol hijau dilayar handphone nya.

“Halo, dek Nara? kakak udah di parkiran kamu di mana?ohh di situ? iya-iya kakak nyusul.”

Danny memutuskan sambungan telpon, lalu lelaki ini kembali memasukkan alat elektronik berbentuk kotak nya kedalam saku.

“Ayo, Senja” “iya yok.”

Mereka berdua mulai menuju keberadaan Dinara. “Kak Danny!!” teriak lantang Dinara saat melihat Danny.

“Iya, Nar” “siapa nih, kak Dan” tanya Dinara kepada Danny.

“Oh ini teman kakak, Nar. kenalin namanya Senja.”

Senja dan Dinara mulai bersalaman dan bertukar senyum.

“Halo kak nama aku Dinara panggil aja Nara atau senyaman kakak aja, ohh iya aku adik sepupunya kak Danny terus yang ini pacar aku kak, Rangga namanya.”

“Ohh iya salken ya Din, aku Senja panggil senyaman kamu aja. Ohh iya, Rangga salken Senja”

“Nara, kak Danny duluan ya sama Rangga. Sen, gw duluan ya” Danny dan Rangga berjalan bersama mendahului Senja dan Dinara.

“Ayo kak jalan, ohh iya kakak deket sama kak Danny?”

Pertanyaan itu cukup membuat Senja kaget “ehh engga kok, Nar. Cuma temen hehehe.” Cengiran Senja mengiringi kalimatnya.

“Lohh bener?” kali ini Dinara yang kaget mendengar kalimat Senja.

“Kenapa, Nar?” “yakin ga deket, kak?”

“iya Dinara yakin, emang nya kenapa?.” Senja di buat bingung oleh Nara, pasalnya Dinara memasang mimik wajah yang bahkan Senja saja bingung apa artinya.

“Kak Danny ga gitu kak soalnya, dia jarang banget bawa cewe” “lah? masa sih, Nar?” tanya Nara

“iya kak setau aku dia cuma pernah bawa kakak sama kak unna.”

Hanya di balas senyuman oleh Senja.

“Kakak tau Unna?” “pacar nya Danny?”

“lohh masih pacaran? Belum putus?.” Kaget Nara.

“Ahh ga tau kalau soal itu, Nar. Tapi kayak nya udah deh.”

“Soal nya pas aku sama tante, mamah nya kak Danny kan kita berdua lagi pergi tuh ehh malah liat kak Unna lagi sama cowo. Aku kira udah putus sama kak Unna waktu itu, tapi tante juga ngingetin aku si buat ga bilang ke kak Danny, katanya biar kak Danny tau sendiri kelakuan kak Unna.”

“Ohh gitu ya, Nar. Tapi kayak nya baru tadi sore deh baru putus nya.”

“Oalahh” ucap Dinara sambil mengangguk-nganggukkan kepala.

“Heii asik banget sih! ngomongi apaan?” tiba-tiba saja Danny di samping Senja lalu dengan santai menyambung pembicaraan Senja dan Dinara.

“Engga ngomongin apa-apa, kak” “yaudah yuk duduk situ dulu, sambil nunggu jam 12.”

“Iya kak” Dinara pergi meninggalkan Danny dan Senja di belakang.

“Senja ayo!” rangkul Danny “ehh” Senja kaget melihat perlakuan Danny padanya.

“Aduh maaf Senja tadi reflek” “iya Danny gapapa kok sans elah sama gw” senyum Senja.

'Aduh lu ngapain sih, Dan. Goblok banget asal rangkul.' ucap Danny dalam hati.

Roti

Senja mulai beranjak dari tempat duduk nya lalu berjalan mendekati Danny.

Sebenarnya Senja sendiri masih malu atas kejadian beberapa minggu lalu, tapi ia rasa akan lebih baik mencoba berteman dengan Danny.

Danny duduk tidak jauh dari tempat senja. Lelaki itu memilih duduk di kursi paling belakang, ya lebih tepatnya di pojokan. Ntah apa yang Danny rasakan ketika duduk di belakang tetapi ia rasa itu akan sangat memudahkan Danny jika ingin melakukan sesuatu.

Danny suka tidur tapi tidak separah Senja. Danny murid yang pintar hanya dia sedikit pemalas, lelaki itu memang suka membawa makanan untuk ia cemili.

Danny menyadari Senja mulai berdiri dari tempat duduk nya tersenyum menatap Senja.

Entahlah Senja yang biasa nya bertingkah seperti singa lepas tetapi kali ini dia sangat menjaga sikapnya bukan karna ingin perhatian Danny tapi rasa malu terhadap kejadian lalu masih membekas di benak Senja.

“Ini Dan” tawar Senja kepada Danny lagi-lagi di balas senyuman oleh Danny.

“Duduk dulu sini samping gw ngapain buru-buru pergi”

Sebenarnya Senja sangat ingin kembali ke bangku, ingin menolak tapi ada rasa tidak enak “emm iya, Dan.”

Senja pun mulai menduduki pantatnya di bangku tepat di samping Danny. Senja kembali menyodor kan roti yang di buat oleh bundanya.

“Ini Danny cobain! bunda yang bikin” seru Senja.

“Keliatannya enak, Sen” “iya dong kan bunda gw yang bikin.” “Gw coba ya” Danny pun mengambil sehelai roti isi selai srikaya itu.

“Rum enak loh, Sen” “mau lagi Danny? ambil aja, sebentar gw ambilin tissu ya”

Senja mengambil tissu di laci meja nya dan memberikan satu roti lagi kepada Danny.

“Ini ya, Dan” ucap Senja sambil tersenyum. “Manis” celetuk Danny.

“Ya manis dong kan roti, Dan”

“bukan itu” “terus?”

“senyum lu.”

DAMNNN!

Kata itu benar-benar membuat Senja membeku entah apa yang harus Senja lakukan, yang pasti hati nya sedang berdetak sangat cepat.