Tetangga kok gitu?
Aku mengerutkan dahi, apa yang akan lelaki itu lakukan? Hanya memasak? Ya, pasti hanya memasak. Kaki ku terus berjalan untuk ke seberang rumah. Rumah David dan rumahku hanya terpisah oleh jalanan yang tak cukup besar. Ku ketuk pintu rumahnya, tidak ada yang merespon. Seperti biasa, aku langsung saja membuka pintu rumah David, ternyata tidak di kunci.
“Dav?” Teriakku sambil berjalan kearah kamarnya. Aku buka saja pintu kamarnya tanpa permisi, kemana anak ini? Mengapa dia menghilang? Terlintas di pikiranku untuk sekedar menata wajah dan penampilan, akhirnya aku menuju cermin besar yang berada di kamar David. Cantik juga. Aku sudah menyukai lelaki ini sejak lama, kita hanya berteman. Tetapi aku rasa kita tidak bisa disebut sekedar teman setelah apa yang kita lakukan.
Aku tersipu malu saat mengingat pertama kali David menatapku di busa empuk kamarku. Dia menatapku dan berkata bahwa aku cantik, benar-benar seperti manusia hilang kewarasan. “Emhhh,” tiba-tiba ada suara seorang lelaki yang sangat akrab dengan kupingku. Orang ini mengeluarkan suara sambil memelukku dari belakang, “nyaman,” sambungnya membuat aku tersipu malu. David Maharda, lelaki ini muncul tanpa sepengetahuanku. Hanya mengenakan celana pendek tanpa kain di badannya.
“Makan ya? Gue masak dulu,”
“Kamu,” jawab singkat David yang membuatku sedikit bingung, barusan dia memanggilku dengan sebutan 'kamu' apa aku tidak salah dengar? Terakhir kali dia memanggilku seperti itu sejak beberapa bulan yang lalu, saat kita melakukan kegiatan 'itu' untuk pertama kalinya di rumahku, di kamarku, lebih tepatnya di ranjang ku.
Aku sedikit merinding saat tangan David mulai menggerayangi perutku, ia mengusap pelan dengan kepala yang masih terbenam di leherku. Aku yang di perlakukan seperti itu hanya bisa mendongakkan kepala dan memberi akses agar David leluasa menjamah leherku. Tangannya mulai nakal, jemari David mulai mampir menyapa payudaraku. Benar-benar nakal, “lucu,” celetuknya saat ujung telunjuk memainkan nipple milikku. “Kak Dav!” Aku berteriak, pasalnya telunjuk David semakin jadi bermain di sana.
David membalikkan badanku, manatap wajahku sejenak lalu tersenyum. “Apa?” Tanyaku, aku bingung mengapa lelaki ini tersenyum tanpa alasan. David menggeleng. Ibu jarinya menghelus bibirku. Merinding sekali. “Mutia, bibir ini punya aku, kan?” Tanyanya dengan suara pelan yang membisik kupingku. Jelas punyamu, mengapa dia harus bertanya? Geli, lidahnya menyapa kelopak kupingku, “shh kak Dav,” rintih ini sudah tidak bisa aku tahan
Lelaki ini berjalan menjauhi ku, apa maksudnya? “Sini, Mutia.” Perintah David saat pantatnya terduduk di pojok ranjang. “Eungg?” Kataku sambil memiringkan kepala.
“Sini,” tangannya menepuk ruang kosong di samping tubuhnya. Aku hanya mengikuti perintah David dan berjalan mendekatinya. Setelah sampai di sampingnya, David mendorong tubuhku begitu saja. Hempasan yang membuatku mengingat kembali kejadian beberapa bulan lalu. Ia menindih tubuhku. “Cantik,” katanya. Gawat, jantungku ingin beranjak dari tempatnya. Benar-benar seperti kejadian beberapa bulan lalu, dia kembali memujiku cantik.
Perlahan ia mengecup bibirku, berawal kecupan, menjadi lumatan. Dia melakukan dengan baik, ciuman yang membuatku tak mampu menjauh darinya. Bibir saling sibuk menikmati satu sama lain. Tangannya yang mulai menyapa kembali payudaraku, ya lagi-lagi lelaki ini memainkan benda kecil itu. “K-kak David emm,” aku melepaskan tautan bibir. David tersenyum puas.
“Gue suka,” ucapnya singkat. Tangan kirinya tidak menganggur. Menghampiri setiap inci pahaku. Matanya masih terus manatap wajah ku dengan senyum itu. Setelah puas ia memainkan pahaku, kini tangannya semakin gencar menghampiri benda sensitif ku. “Kak, emm jangan gini,” bukannya menjawab justru lelaki ini semakin liar di bawah sana, dua jarinya sudah berada di liang nikmatku, bergerak dengan tempo cepat. Senyumnya semakin sumringah saat melihat wajahku menampilkan wajah tersiksa akibat perlakuannya. “Kak akhh u-udah,”
“Tau ga kenapa aku bilang tadi aku suka?” Aku pun menggeleng cepat. “Aku suka kamu manggil aku dengan sebutan 'kak',”
“Aku bingung, kenapa kamu cuma manggil aku dengan embel-embel 'kak' saat kita ngelakuin hal intim? Kenapa ga setiap hari aja?” Aku membeku, iya juga, mengapa aku hanya memanggilnya dengan sebutan itu saat sedang melakukan hal-hal intim.
David tersenyum lalu mendekati wajah tampannya itu ke kupingku, lalu ia membisik, “udah ga tahan, ya?”
Gila, David Maharda benar-benar gila. “Apaan sih!” Ku dorong kuat dada bidangnya. Bukannya marah ia malah tersenyum dan berkata, “sabar, ya, sayang.”
Aku terdiam dengan posisi yang sama, menatapnya yang mulai membuka celana pendek yang ia kenakan. Aku menelan ludah, ini sudah kedua kalinya melihat kepunyaan David, tapi mengapa aku masih tetap kaget. David mendekatiku dan tidur di sampingku. Ia menuntunku untuk menaiki tubuhnya. “Takut,” kataku. Jujur aku tidak yakin bisa memimpin permainan ini. “Bisa, aku bantu.”
Lelaki itu membantuku untuk menautkan milikku dan miliknya. “Ahh kak Dav, penuh!” Teriakku. “Bisa sayang.”
Setelah masuk sepenuhnya, ia berkata, “diamkan dulu biar terbiasa,” entahlah, kalimat itu cukup membuatku tenang.
Tak lama, tangannya menggapai pinggulku dan mulai membantuku untuk bergerak. “Kak,”
“Hmm? Shhh,” rintihannya mengapa bisa secandu itu? Bagian bawah sibuk ia kuasai, tidak dibiarkan benda kenyal di dadaku menganggur begitu saja. Ia gapai, lalu di remas perlahan. Tidak lupa, dia kembali memainkan benda kecil itu.
“Kak David, emm-”
“mmau keluar,” mata ku terpejam saat David mulai menghentakkan beberapa kali tautan bagian bawah kami. “Bersama cantik.”
“Dav!!” Teriakku saat ia menekan dan mengeluarkannya di dalam. Aku berteriak karena kepanikan menghampiri diriku. “Dav! Lo gila?” Nada ku meninggi. Ia dengan cepat menarik lenganku dan menenggelamkan tubuhku di dada bidangnya. Jujur ini sangat nyaman, tetapi kekhawatiran ku tetap menghantui otak. Ku pukul saja dadanya menggunakan kedua tanganku.
“Sutttt sutttt tenang, sayang.” Ucapnya diiringi elusan pada pucuk kepalaku. Seketika aku tenang. Aneh.
David mengecup pucuk dahiku, “Besok aku kerumah kamu, minta restu sama tante dan om.”