Skyvalesya

Bj Motekar

'Gila merinding banget gw' Batin Senja.

“nja mau pesen apa?” tanya Jivan.

Senja tak membalas, hanya bungkaman bibir yang di terima Jivan.

“njaa” Tegur Juna.

“Ahh haa” Senja sedikit kaget oleh teguran Arjuna.

“Mau apa nja?” tanya Jayden

“anu apasi nasi ayam bali?.”

“Ohh bentar gw pesenin” Danny berdiri membuat Senja dan teman-temannya heran.

“gw pesen sendiri aja, Dan gapapa.” jawab Senja “Sekalian gw mau bayar gapapa.”

Danny berjalan menuju meja a'a bj. “A' ayam bali nya satu sama mau bayar semua nya brpa?”

“bentar a tak hitungin”

“63.500 a'” lanjut pelayanan.

Danny menyodor kan uang 100.000 kepada sang pelayan “a' ga ada yang kecil?”

“oh ga ada kembalian? Udah a' ambil aja sisa nya” “banyak banget a' ini sisanya.”

“Alah santai kayak sama siapa aja” celetuk Danny.

Danny pun kembali ketempat duduk nya.

'Senja masih canggung ya sama gw?' ucap Danny dalam hati sambil sesekali melirik Senja.

“Bentar mau ke a'a nya” ucap Jivan memecah keheningan.

“Mau ngapain?” “bayar, Dan” “udah gw bayarin, Ji. Santai”

“lahh ya jangan bangsat” Jayden mengambil alih pembicaraan.

“Kayak sama siapa aja lu, Jay” kalimat itu keluar dari mulut santai Danny.

“Makasih, Dan. Jadi enak” Arjuna berbicara dengan mimik wajah yang bisa di bilang seperti orang senang.

“Giliran gratisan lu cpet” cibir Jivan.

“Ehh gw mau ke sebrang situ beli boba ya” izin Senja Memecah kerusuhan kelompok para lelaki itu.

“gw ikut, mau beli juga” Ucap Danny yang membingungkan sekelompok teman lelakinya termasuk Senja.

“Ahh iya udah yuk” Senja dan Danny menyeberangi jalan raya dan segera memesan boba yang mereka inginkan.

“Rasa apa, Sen?” tanya Danny “macha nya habis weh” Senja memanyunkan bibir sambil melihat menu yang tertera di etalase toko.

“Vanilla juga habis yaudah ori aja” lagi lagi Senja memanyunkan bibirnya.

“Lucu” kekeh Danny “hahh?” Senja kebingungan, memasang wajah polosnya.

“3 mbak” pesan Danny.

Tak lama 3 gelas boba pun datang ke meja mereka.

“Sen ayo di foto lucu banget ni tempat nya” “ahh iya ayo”

“ohh iya kok lu beli 2?” tanya Senja.

“Buat pacar gw satunya dia suka boba juga” Senja sempat lupa jika Danny sudah memiliki kekasih.

“O-ohhh iya” jawab wanita ini di selimuti kecanggungan.

Gramedia

Senja segera menyelesaikan kegiatan nya di kamar, dengan langkah yang cepat Senja segera keluar dari rumah.

“Jayyy” panggil Senja sambil tersenyum menenteng helm bogo coklat kesayangannya

“Lama bener, pakek segala ngetweet” celetuk Jayden “Maaf-maaf yaelah dasar ngambekan”

“Siapa yang ngambek si goblok, cepet naik malah ngebacot.” “Iya ah galak bener.”

Senja dengan segera mendudukkan pantatnya ke jok motor milik Jayden. “Siap?”

“iya yuk gas!.”

“Pegangan ntar jatoh” “lu pikir gw bocil?.”

Hanya di balas kekehan kecil oleh Jayden. Lelaki ini mulai menjalankan kendaraan roda dua kepunyaannya.

Senja mulai memandangi sekeliling, suasana Jogja sangat indah, apalagi berkeliling pada malam hari.

Memang bukan di Malioboro, tapi menurut Senja memang Jogja kota yang indah.

Bersyukur Senja tinggal di kota yang ia suka.

“Cantik” ucap Senja.

“Apa nja yang cantik?” “langit nya Jay.”

“Ouhh langit nya, nja lu liat bintangkan?” tanya Jayden “liat Jay kenapa? langit ya tambah indah karena ada bintang.”

“Iya kayak gw sama lu, kalo lu ga ada mungkin gw ga bkal sebahagia ini” ucap Jayden yang cukup membuat senja kaget.

“Hah maksutnya?” “jangan salah paham nja, gw seneng bisa temenan sama lu.”

“Yaelah Jay sans aja kali, kirain kenapa.”

“Lu pikir gw suka sma lu? Tanya Jayden. Senja justru malah diam, ia bingung harus menjawab apa.

“Etdah malah diem udah ahh sans aja lupakan.”

Tak terasa perjalanannya usai, mereka berdua telah sampai di Gramedia.

Jayden nyandarkan standar di tanah parkiran.

“yuk Jay” semangat Senja.

“Iya-iya senja” kekeh Jayden.

Danny?

“Ayo kantin” Ajak salza.

“Ha?” Seperti biasa otak Senja masih mencerna ajakan Salza. 'Putri tidur' itulah julukan khusus untuk Senja dari para temannya.

Senja baru saja bangun dari tidur nya, matematika minat adalah pelajaran yang paling Senja benci, ohh tidak-tidak, hampir semua pelajaran yang berhubungan dengan jurusan nya sangat ia benci.

Senja sendiri sempat berfikir bahwa dirinya salah jurusan.

“Ha ho ha ho matamu.” Hanya di balas cengiran oleh wanita itu.

“kantin njaaa ayoo” Kembali Salza mengajak Senja “Donat? sama gorengan mbah parjo? deal?.”

“Giliran di traktir aja cepet lu.” Jawab Salza. “Hehehee mager si sebenernya tapi ayo lah gas.”

Segera Salza menggandeng tangan senja membawa nya ke kantin.

Di pertengahan jalan Salza berhenti mendadak, membuat Senja sedikit kaget. “Wehh apasi” protes Senja.

“Bentar njaa bentar itu Danny sama cewe” segera Salza mengeluarkan handphone nya dari saku.

“Danny siapa si?” mata senja menyipit memfokuskan pandangannya “pacar nya temen gw” ucap salza.

“Temen? temen yang mane” maklumi saja Senja baru bangun dari tidur, matanya masih belum fokus memandang.

“Temen SMP namanya Unna, dia bilang suruh ngadu ke dia kalo ada apa-apa.”

“Lah bukannya si Unna-unna itu off ya? kan sekolah nya wajib tinggal di asrama” “emang, kirim instagram aja di dm” ucap Salza.

“Yaudah sini gw aja yang foto, gw benci ni perselingkuhan gini” segera Senja mengambil hp Salza dan memotret Danny dari kejauhan.

“Ehh itu kan temen sekelas nya sal? setau gw tu cewe emang deket sama Danny-danny itu. Orang sering pulang bareng kok, cuma temen kali” Pikir positif Senja.

“iya sih kayaknya cuma temen, tapi si Unna nyuruh kalo Danny sama cewe foto aja kirim ke dia gitu”

“Wow posesif juga si Unna”

Mereka melanjutkan perjalanan ke kantin lalu melewati Danny yang sedang bersama teman wanita nya.

“Dan” tegur Salza “ehh Salza mau kmna?.” Tanya Danny.

“mau ke kantin ni sama Senja” “Senja? Ohh nama nya Senja” Ucap Danny sambil tersenyum kepada Senja.

“iya gw Senja” di balas senyuman manis oleh Senja.

“Gw duluan ya, Dan.” “Permisi” pamit Senja dan Salza kepada Danny.

Tante Sasa

“Mahendra” panggil perempuan paruh baya dari ambang pintu rumah. Mahendra menuruni mobil yang ia bawa, perlahan Mahendra mendekati wanita itu, mama Malla Sabiru.

“Tidak apa-apa, semua baik-baik saja, nak. Peluk mama sayang, jangan nangis sendiri.” Mahendra pun merentangkan kedua tangannya, menggapai tubuh mama kekasih nya yang telah tiada. “Mahen minta maaf, Mahen nyakitin Biru, Mahen duain Biru, Mahen jahat, ma.”

Tangisan Mahendra pecah saat ia menggapai tubuh tante Sasa, mata nya sudah banjir, pundak tante Sasa di penuhi air mata Mahendra. Semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa di harapkan, Malla Sabiru telah pergi seutuhnya, bahkan jejak kaki Sabiru telah hilang dari satu tahun lalu.

Jika waktu bisa di putar, mungkin Mahendra akan tetap memilih menemani Sabiru di apartemen. Tapi takdir berkata lain, rasa iba Mahendra tiba-tiba menjadi rasa nafsu.

Kala itu, Ayana sedang merasa hidupnya hancur. Sosok mama yang selalu papa nya janjikan tak kunjung datang, rasa cemburunya terhadap Sabiru membuat Ayana lupa diri. Niat hati ingin menyegarkan pikiran, sudah menjadi kebiasaan Ayana jika sedang mengalami masalah ia memilih untuk minum minuman alkohol. Mahendra mendatangi Ayana berniat mencegah wanita ini untuk minum terlalu banyak, tapi si licik datang menguasai akal sehat Mahendra dan Ayana.

Kesalahan fatal bukan? bahkan Mahendra sempat menjalin hubungan bersama Ayana selama beberapa bulan, di belakang Biru.

Tuhan terlalu sempurna menciptakan gadis ini, akal nya tak berjalan lancar, kuping nya hanya mendengar kan kata hati. Dengan lapang dada Sabiru memberi kesempatan kedua untuk Mahendra.

Tante Sasa mendekap pipi Mahen dengan kedua tangannya, “Sayang, itu masa lalu nak. Semua sudah terjadi, untuk apa di ungkit lagi? mama udah maafin Mahen, mama udah maafin Ayana. Kita manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, yang terpenting jadikan itu pelajaran, jangan di ulangi. Masa depan Mahen di perbaiki ya nak, jangan Mahen lakuin lagi kesalahan yang terjadi di masa lalu. Mahen kuat, mama tau itu. Malla bakal sedih kalau liat mahen terus-terusan seperti ini, bangkit sayang, kamu bisa.” Tangis telah pergi, tetapi wajah lusuh Mahendra tetap tertera sangat jelas.

“Ayo masuk, mama Sasa masak opor ayam kesukaan Mahen. Di dalem udah ada Samudra sama Ayana, sama Maya juga cucu mama, cantik.”

Hujan

Air kepunyaan awan masih terus jatuh dengan kecepatan tinggi, tak di beri nya cela sedikit pun.

Shandara hanya terdiam dengan wajah yang pucat, kupingnya sangat jelas menangkap suara air hujan yang jatuh ke langit gedung kantin kampus.

Mahendra senantiasa membaca mimik wajah Dara, “Dar? kenapa?” pertanyaan itu tak dianggap ada oleh Dara, Shandara masih tetap terdiam.

“Dara? kenapa? Dar, kok diem.” Tanya Mahendra, lagi.

“Ga suka hujan” celetuk Shandara “Brisik, kuping ku sakit, dada ku sesak.” Lanjut Dara.

Mahendra sedikit kaget, otak nya memutar kaset dari masa lalu. Layar kaca itu berisi dua insan yang sedang berlarian dengan gigi yang tampak sangat jelas tertata rapi. Kaset itu terus terputar, mata Mahendra masih dengan jelas menatap layar kaca yang ada di pikirannya. 'Aku suka banget sama hujan!.' Seru wanita yang berperan sebagai lawan main Mahendra di film yang tangah terpampang.

Mahendra berbicara dalam hati, akhirnya lelaki ini menemukan perbedaan antara Malla Sabiru dan Shandara Ravelyn. 'Biru suka hujan, tapi kelihatannya Dara benci banget sama hujan. Akhirnya ada perbedaan di antara kalian dari segi kesenangan.' Kira-kira itulah kalimat yang keluar dari mulut bungkam Mahendra.

Petir besar datang, Dara berteriak dengan kuping yang ia tutup rapat menggunakan telapak tangannya. “Dara!” teriak Mahendra yang mulai panik, mata Shandara ikut menjatuhkan air sama seperti awan.

“Ga!! Ga!! papa mama buka, di luar dingin!” Teriak histeris Shandara. Mahen sangat kaget mendengar Dara mengeluarkan kalimat. “Tenang-tenang, disini ada gue. Ga ada yang jahatin lu, Dar.”

Perlahan, Mahendra mendekati tubuh Dara. “Maaf kalau lancang.” Ucap Mahendra singkat dan segera memeluk Dara.

“Jangan takut, ada gue. Gue ga bakal jahatin lu, buang pikiran buruk itu, Dar. Itu cuma masalalu yang udah lewat, itu cuma kejadian yang keulang di otak lu, Itu ga nyata.” Mahendra seakan tau apa yang Shandara rasakan, Mahen rasa mereka sama. Ayana lah wanita yang menemani Mahendra di kala keluarga dan dunia Mahendra menghakiminya. 'Ayana, makasih' celetuk Mahen dalam hati.

“Gue tau, lu takut banget kan?” tanya Mahen yang tidak memiliki jawaban, kini tangan Mahendra mengusap perlahan rambut hitam milik Dara. Tangis Dara mulai reda, tetapi kejadian di masa lalu nya masih jelas terputar di otak Dara.

Malam dan Reyhan

“Dar!” seru Reyhan dari depan rumah Shandara “Ayo naik si Joko!.” Lanjutnya.

Shandara terkekeh melihat tingkah Reyhan, perlahan Dara menaiki jok belakang motor Reyhan.

“Apasi lo! Aneh banget, Joko siapa? Jangan bilang ni motor?.” Dara menggrutu.

Reyhan tersenyum tipis dengan mata yang melirik spion memandang wajah Shandara.

“Iya, namanya Joko. Kerenkan!” Ucap Rey semangat.

Wanita ini lantas tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Reyhan, Reyhan selalu ada di kala Shandara sedih, lelaki ini tidak banyak tanya, Reyhan cukup membawa wanita ini keliling kota.

“Siap?”

“Hey, jawab kok malah ketawa sih.” Lanjut Reyhan. “Iya-iya siap Reyy.” Seru Dara.

Suasana malam ini cukup dingin, langit tampak bersahabat, bintang pun tak kalah menarik.

“Lu tau ga kenapa gue ajak naik motor, Dar?.” Tanya Reyhan yang fokus memandang aspal jalanan.

Shandara terdiam sejenak, apa maksut lelaki ini. “Engga.” Jawab singkat Dara.

Rey tersenyum, “Biar lu bisa nikmatin dinginnya udara malam.”

“Yeeee aneh! Ntar kalo gue sakit lu mau tanggung jawab?.”

“Gue kecup juga entar sembuh.” Ucap Reyhan dengan santai di iringi kekehan.

Shandara yang mendengar itu pun langsung memukul kepala Reyhan, “aww sakit anjing.!”

“Bibir lo gue rukiyah ya, Dar” “udah tau gue pakek helm ya sakit lah!.” Lanjut Reyhan.

Senyap, setelah candaan itu berlangsung canggung pun datang.

“Dar.” Panggil Reyhan pelan, hanya dehem an yang keluar dari mulut Dara. “Cape ya? Atau ada masalah lagi?.” Tanya Reyhan diiringi wajah serius. “Bisa jawab? Kalau engga yaudah gue ga maksa, Dar.”

Shandara hanya terdiam, mata nya mulai berkaca-kaca mengingat kejadian yang menimpanya tadi siang. “Gue ga okey, Rey.” Jawabnya pelan.

“Perlu gue berhentiin motornya biar lu cerita nya nyaman? Atau lanjut aja?.” Hanya pertanyaan itu yang muncul dari mulut Reyhan sudah berhasil membuat air mata Dara terjatuh, lagi.

“Kalau buat sekarang gue belum bisa cerita, Rey.” Jelas Shandara. “Okey, gapapa gue ga maksa.”

“Dar, lihat langit nya bukannya itu terlalu indah untuk di anggurin? Bulannya juga lagi terang tuh, dia tau kalo ada cewek cantik yang lagi keluar keliling kota”

“Hahaha! Apaan si lo.” Sela Shandara.

“Lo tuh kayak langit malam tanpa bintang.” “Maksutnya?.” Aneh sekali lelaki di depannya ini.

“Kayak lo tanpa sebuah senyuman, suram banget! Makanya senyum lu ga boleh luntur apalagi ilang.”

Shandara menarik kedua pipinya lalu terbitlah sebuah senyuman tipis namun indah. “Nah!! Gitu dong!!”

“Martabak? Kacang susu?.” Tawar Reyhan.

“Mau!.” Seru Dara penuh semangat. Hanya di balas senyum tipis oleh Reyhan dengan mata yang melirik spion.

Dara kembali luka

Tepat di pojok kamar Shandara terduduk, kakinya terlipat, tangannya memeluk erat lipatan kaki itu dengan wajah yang ia tenggelam kan di antara lutut.

Benang yang kusut itu semakin kusut, duri tajam semakin menamcap lebih dalam, entah apa yang Dara lakukan di masalalu tapi ia rasa ini terlalu berat untuk di jalani.

Wajah Shandara masih tampak jelas memerah, tangannya bergetar hebat, tak ada kata yang mampu keluar dari bibir cerewetnya.

“Tuhan, Dara salah apa? Ujian apa yang akan engkau berikan lagi kepada ku?.” Lirih nya pelan.

Bola matanya tak bisa bohong, mata indah milik Dara memerah. Cairan mata kembali datang menyapa pipi Dara, deras nya aliran ini tak mampu Dara bendung.

Perlahan jemari lentiknya mengusap pipi yang menjadi jalan deras nya air mata.

“Pa, kenapa setega ini sama Dara?.”

Ternyata bibir itu masih mampu meneruskan kalimat.

Pukul sudah menunjukkan pukul 18:30, sudah hampir empat jam tubuh mungilnya terduduk di lantai dingin kamarnya.

Ia sangat enggan untuk beranjak, hatinya masih sangat gusar, otaknya masih belum bisa mencerna apa yang terjadi padanya siang tadi.

“Mama, udah pulang belum? Dara takut.” Ucapnya dalam hati.

Kaki Dara masih sangat lemas, ia mencoba untuk berdiri, bibir cantiknya beralih menjadi pucat.

Sangat dingin, ia mencoba beranjak sedari tadi tapi tak berhasil. Kali ini berhasil, dengan cepat Dara menjatuhkan diri ke kasur empuknya meraih handphone yang tadi ia hempaskan ke kasur.

Les

“Nihh.” secara tiba-tiba Mahendra datang membuat Shandara sedikit kaget. “Astaga kak Mahen! gue kira siapa!”

“Hahaha begitu doang kaget.” ucap Mahen diiringi kekehan renyah. “Sumpah ya ni apartemen lo horror kak, tadi pas gue lagi ngerjain kayak ada yang ngeliatin gitu.” bibir Shandara benar-benar tidak memiliki rem.

“Ehh ehh sebentar, apeni yupi kan? Kok lu tau gue suka yupi.” Belum sempat Mahendra menjawab, wanita ini dengan santai mengambil yupi yang masih terbungkus rapi. “Kalau ada cabe udah gue cabein tuh mulut lu, Dar”

“Yakin? Mau nyabein cewek cantik nan manis ini.” wanita ini sangat santai dalam berkata.

‘Mirip tapi beda.’ ucap Mahendra dalam hati, bagaimana tidak fisik dan makanan favorit Shandara sama dengan Sabiru tetapi sifatnya sangat berbanding terbalik.

“Heh kak! Kok bengong sih, kenapa? Lu beneran terpana kan sama kecantikan Shandara Ravelyn.” ucap sombong Dara.

“Kayaknya tingkat kepedean lu tinggi banget deh, Dar.” Bukannya menjawab Shandara hanya melirik Mahendra dengan mulut yang dipenuhi yupi.

Tak lama yupi di depannya pun habis “Kak, gue pulang dulu ya.” “Lu tadi kesini naik apa?” tanya Mahendra. “Terbang, kak. Gue kan bidadari.” Mahendra benar-benar tak habis pikir, wanita di depannya ini sangat ceplas-ceplos.

“Dar, gue serius.” “Kak Mahen, hidup lu tegang banget ya kayaknya.” Cibir Shandara.

Mahendra hanya menggelengkan kepala dengan senyum tipis yang tertera jelas di bibirnya. “Mau di anterin?” “Ihh ngerepotin tau!” Bohong, Dara hanya ingin berbasa-basi. Otaknya sangat brisik, jantungnya berdetak kencang, bibirnya pun ingin sekali berkata ‘iya’.

“Engga sih, udah malem juga.”

“kalau gitu ayok lahh!”

“yeee dasar, pura-pura nolak kan tadi.” Shandara hanya menahan senyum

Pagi tak pernah indah

Pagi datang menghampiri Shandara yang tertidur pulas, mata nya yang tertutup rapat kini mulai terbuka. Sebenarnya sangat malas saat pagi datang, Dara harus kembali memakai topeng yang telah ia pahat sedemikian rupa. Kepribadian nya benar-benar berbeda, saat malam datang saat itu juga wajah buruk nya datang. Air mata yang mengalir begitu deras akibat ia tahan sedari matahari terbit.

Tak butuh waktu lama, Shandara bersiap untuk pulang.

“Langsung pulang?” Tanya Chaca sang sahabat. “Iya, udah ya gue duluan. Bunda?” “Lagi kepasar, gapapa sana ntar gue yang pamitin”

Terburu-buru ia bawa badannya beranjak dari rumah Chaca, hatinya gusar, firasat nya mengatakan hari ini ia sedang tidak beruntung. Dan benar saja, saat kaki indah nya menginjakkan lantai dingin di rumah, sang papa sudah menunggu di depan pintu.

“Inget pulang?” Tanya papa Dara Tak di balas nya pertanyaan sang papa, diri nya dengan santai melewati pria paruh baya ini yang sedang bergidik ngeri menatap gadis kecil nya.

“Punya mulut di pakek, Dar!” Dengan nada mulai meninggi. Dara masih senantiasa terdiam, ia sibuk menata barang-barang yang ia bawa. “Dar!”

“Apa!” Suara Dara ikut meninggi, gadis ini berani sekali. “Ga ada sopan santun nya jadi anak!”

“Papa ngaca! Apa papa udah bener jadi ayah?” “Dar! Kurang ajar kamu ya” Telapak tangan yang besar jatuh tepat di pipi Dara, sang papa menampar pipi mulus Shandara.

Bagaimana tidak kaget? Seorang ayah yang ia dambakan sedari kecil, sesosok lelaki yang iya lihat untuk pertama kali nya dengan tega menampar pipi Shandara.

Tangan papa Dara masih setia di atas dengan posisi ingin menampar, kembali. “Apa pa? Apa? Mau nampar Dara lagi? Tampar pa! Tampar! Cepet!”

Manusia di sebrang Dara ini hanya terdiam, terpaku menatap putri kecilnya. “Pa, Dara cape pa. Dara cape liat papa mama setiap hari teriak-teriak”

Kini jemari Dara menggapai dada miliknya, tanpa pikir panjang Dara memukul kencang dadanya sendiri. “Ini pa ini! Sakit pa sesek, papa tau rasanya seberapa sesek? Di sini ada yang namcepin duri bukannya di ambil malah di tanem lebih dalem”

Bola mata Dara mulai bergetar, kini jemari Dara menarik santai kuping miliknya. “Dan ini? Ini kuping malang yang ga salah apa-apa tapi selalu denger suara biadap itu! Pyarrr suara piring gelas pecah hahaha bahkan bukan cuma itu, anjing yang ga salah apa-apa selalu kalian bawa-bawa kalo papa mama lagi ribut”

Dara menarik nafas. “Cerai? Muak pa muakk! Setiap kalian ribut selalu kata cerai yang terbit di bibir kalian, tapi apa? Sampai sekarang kalian masih bareng dan masih setia nyakitin aku!”

“Aku mau nyari ketenangan, jangan halangin aku buat pergi!” Shandara secepat kilat pergi meninggalkan papa nya yang masih mematung.

“Mahen, ada anjing!!!”

“gapapa ini jalan kaki?” Tanya Mahen “Iya engga papa hen”

Mahen berniat ingin mengajak Sabiru jalan bersama. Pikiran lelaki ini memang aneh, menurut Mahen jalan kaki berdua di sore hari itu sangat berarti katanya itu adalah hal yang romantis. “Cape ga kaki nya?” Celetuk Mahen

“Emang kalo cape mau di apain? Mau lu ganti kaki sapi?” Jawab Sabiru sambil terkekeh “Tau ga kenapa gue ngajak jalan kaki?”

“Engga lah” “Sebelum nya ada cowo yang ngajak lu jalan kaki, bir?” Tanya nya lagi

“Lu doang, aneh” Sabiru tetap memfokuskan pandangannya ke depan menatap kerikil-kerikil kecil yang berada di aspal. “Nah makanya itu, gue pengen ngajak lu ngelakuin hal yang belom pernah cowo lain lakuin”

“Iya tapi aneh Mahen” “Iya si, tapi-”

Ucapan Mahen terputus tatkala mendengar Biru teriak. “Lari hen!! Larii!!”

“Haa? Knpa bir?” Lelaki ini lemot sekali, mungkin itu yang ada di pikiran Sabiru. “Anjing! Goblok! Itu anjing ngejar kita”

Dan ya, Mahen baru menyadari jika sedang ada anjing yang mengarah ke mereka dengan tatapan ingin menerkam. Secepat kilat Mahendra menggandeng tangan Sabiru, mereka berdua berlari dengan jemari saling bertautan. Bukannya ketakutan, mereka berdua justru menikmati.

Sabiru benar-benar merasa ada yang berbeda, jantung nya berdebat tak karuan. Dengan senyum manis yang lantang, Sabiru berhasil menghipnotis Mahendra. “Itu ada warung bakso!” Teriak Mahen

“Hufttt.... Cape Mahendraaaa” nafas Sabiru keluar tak beraturan, antara lelah dan terpikat jantung Sabiru berdetak semakin jadi.

“Aduh maaf ya? Cape ya?” Mahen pun mendekat ke arah Biru lalu di tatap nya wajah manis Sabiru. “Ke-kenapa?” Tanya Biru gugup

Tangan Mahendra mengusap perlahan dahi Sabiru yang berkeringat akibat lari bersamanya. “Maaf ya, bir. Ayo duduk kita pesen esteh, kalo mau bakso 10 mangkok gue beliin kok, bir”

Sabiru hanya terkekeh mendengar perkataan Mahen. 'lucu' batin Sabiru.