Skyvalesya

Sabiru telah gugur

Mahendra yang mendengar kabar itu pun dengan cepat meninggalkan apartemen Sabiru. Ia buru-buru pergi ke rumah sakit tempat Biru di rawat. 'sayang, kamu harus kuat' lirih Mahendra di atas motor dengan kecepatan tinggi.

'aku bawa yupi buat kamu, bir' Lanjut nya

Setelah sampai di rumah sakit, Mahendra segera berlari mengarah kamar anggrek milik Sabiru. Lorong demi lorong ia lewati, yupi masih sangat setia ia genggam di tangan kanan nya.

Orang-orang yang lalu lalang tak sengaja ia senggol. “Maaf, maaf” Mahendra menunduk kan kepalanya.

Di depan matanya terdapat kamar bertuliskan 'Kamar Anggrek' pintu yang tak bersalah ia trobos sembarang.

“Bir!!” Teriak Mahendra mendekati biru. “Mahen...” Lirih Biru pelan

“Sayang kamu kuat ya! Aku yakin kamu kuat!” Mahendra mendekap pipi biru menggunakan telapak tangan kiri nya yang lebar, tangan kanan nya masih kokoh membawa sebungkus yupi.

Suasana benar-benar kacau, Mama Biru yang melihat anaknya tidur dengan lemas di kasur. Mata Mama biru mengeluarkan air mata secara perlahan. Fasya yang ikut menyaksikan hanya terdiam, mulut nya bungkam, hanya mata yang berbicara menggunakan air sedihnya.

Samudra yang berada di situ pun hanya melihat, mata milik Samudra kini berkaca-kaca.

Layar monitor yang berada di samping kasur biru terus mengeluarkan suara dengan jarak.

“Mahen... Jangan nangis, Papa udah nunggu aku di sana” suara pelan milik Biru ini membuat seisi kamar menangis sejadi-jadinya.

“Engga! Kamu kuat sayang” Tak lama suara yang awal nya berjarak kini mejadi satu, gelombang yang muncul di monitor perlahan berubah menjadi sebuah garis panjang. Yupi yang sedari tadi ia genggam terjatuh begitu saja di lantai.

“Dok!! Dok!!” teriak panik Mama Biru. Dengan suara yang meninggi Fasya ikut berseru. “Dokter!!! Suster!!!”

“Engga engga malla! Mallaa!!” Teriak Samudra yang kebingungan memukul-mukul layar monitor.

Kacau, keadaan sangat kacau.

“Sayang!! Bangun Biru! Aku bawa yupi bir! Ini biru kamu suka kan, buka mata kamu bir!”

Benar, kini kelopak mata Biru melemah. Bola mata cantik nya mulai tertutup dengan rapat, tangan yang menggenggam pergelangan Mahendra kini perlahan terlepas.

“Sabiru! Jangan lepasin genggaman kamu” seru Mahendra diiringi suara tangis.

Dokter yang datang dengan cepat memeriksa keadaan Biru.

“Maaf” satu kata yang di ucapkan sang dokter. Perawat yang menemani sang dokter dengan santai menutup badan biru dengan kain putih.

“Engga!! Sus kenapa di tutup!” Teriak Mahendra.

“Sus apaan si jangan di tutup temen saya masih ada!” Teriak Fasya dengan wajah yang basah seutuhnya. “Sus, buka sus anak saya belum pergi” Mama Malla Sabiru kini ikut mengambil alih pembicaraan.

Samudra hanya terdiam, dirinya terduduk di lantai. Nyawanya seakan melayang melihat badan sang adik yang di tutupi kain seutuhnya.

Malla, maaf

“Nihhh”

“Ehh kaget gue!” Seru Fasya yang kaget akibat suara Samudra secara tiba-tiba. “Ambil tuh sya” tihtah Biru

“Apa?” Fasya bingung apa maksut Biru “Ini nasgor buat lu, belom makan kan? tadi Biru nitip di gue” jelas Samudra

Fasya pun mengambil plastik kresek yang berisi nasi goreng. “Berapa Sam?” “Udah gausah”

Samudra pun duduk di kursi yang berada di pojok kamar. “Kapan mau ngomong sama Mahen kalo sakit?” Tanya Samudra

“Ga tau bang, bingung” jawab biru, dirinya sangat takut jika Mahendra sedih mengetahui keadaan Sabiru sekarang. “Iya Biru lu harus ngomong, lu mau alesan apa kalau Mahen nyari lu di apart?”

Sabiru melirik pojok jendela yang terdapat kaktus mini yang ia beli serta surat yang ia tulis untuk Mahen. 'aku harus apa hen? Aku ga kuat' lirih nya dalam hati.

“Nunggu apa malla? Kenapa ga jujur aja sih” sela Samudra dengan nada tinggi. Sabiru yang meratapi kaktus mini tadi pun kini melirik sang kakak. “Malla bingung”

“Nunggu kamu ga ada ha!” Tiba-tiba saja Samudra mengeluarkan kalimat yang membuat Sabiru dan Fasya kaget.

Terdiam. Itulah keaadan Biru sekarang dirinya membeku akibat kalimat sang Abang.

“Sam!!” Teriak Fasya

Entahlah perasaan Sabiru kini sangat gusar, hatinya seperti ada yang menyerang secara tiba-tiba. Air mata kembali turun, bola mata nya tampak bergetar, pipi Sabiru melembab.

“Malla, maafin abang” Samudra mendekat ke arah Biru, pemilik nama Biru ini masih senantiasa terdiam dengan mata yang terus meneteskan air mata.

“Pergi!! Gausah deketin biru” teriak Fasya. Fasya tak hanya diam, dengan air mata yang tersirat, ia dengan kokoh mendorong Samudra kearah pintu keluar.

“Malam ini gue yang jaga biru! Lu pulang!” Fasya benar-benar tidak percaya sosok kakak milik Biru ini mampu mengeluarkan kalimat yang bahkan tak pernah Fasya pikirkan.

“Jangan bikin Biru tambah sakit!”

“Malla maaf malla Abang ga sengaja” Samudra mulai menjauh dari Biru akibat dorongan dari Fasya.

Biru masih terdiam, air mata masih terus mengalir. Setelah Samudra pergi segera Fasya mendekati Biru.

“Biru, jangan dengerin ya bir. Plis birr” dengan tangis ia memeluk erat tubuh Biru. “Yang di bilang bang Sam bener, bentar lagi gue ga ada” kalimat itu terhenti

“Liat tangan gue sya, liat badan gue yg di pasangin alat aneh-aneh, mau ke kamar mandi aja gue udah ga kuat. Denger suara gue? Bahkan setiap kalimat yang gue keluarin itu hampir ga kedengaran di kuping lu” lanjut Biru

“Gue denger bir! Suara lu ga ilang suara lu ga berubah”

“Syaaa.... Suara gue berubah, udah ga sekeras dulu. Buat ngomong aja ga kuat, sakit”

“Biru!” Fasya teriak dengan isak tangis. Biru mengeratkan pelukannya “Fasya”

Marah ya?

“engga kok, gemuk malah lucu” Tiba-tiba Mahendra mengeluarkan kata, Sabiru yang mendengar bingung apa maksud Mahendra.

“Ha? Ohh” butuh waktu beberapa detik untuk Biru mengerti maksut sang pacar. “Kok ga di makan?” Tanya Mahendra

“Iya” bohong jika Sabiru baik-baik saja setelah mendengar aduan dari Fasya sahabatnya. “Kamu kenapa? Kok kaya lesu gitu?” Mahendra pun kembali menerbitkan sebuah pertanyaan

“Aku? Gapapa” jawab singkat Sabiru, dengan santai nya Sabiru mengangkat kaki lalu pergi mengarah dapur tanpa kata satupun.

Mahendra yang melihat gerak-gerik Sabiru merasa ada yang janggal. “Mau kemana? Aku ikuttt” teriak Mahen

Benar saja, lelaki ini mengikuti Sabiru ke dapur. Padahal wanitanya hanya ingin mengambil segelas air putih. “Apaan si? Ngapain ngikutin aku” kerut dahi Sabiru terlihat sangat jelas.

“Marah ya?” Tanya mahen “Ga” Malla Sabiru bahkan kehilangan nafsunya untuk tersenyum.

“Gara-gara aku pergi sama Ayana kan? Aku ga ngapa-ngapain loh yang” tebakan Mahendra benar, wanita ini enggan tersenyum karena alasan ini.

“Aku memang nya permasalahin kamu ngapain aja? Engga kan. Ngasih kabar bisa kan? Jangan main pergi gitu aja.” Sabiru pun menyeruput segelas air bening di tangannya. “Maaf sayanggg”

Lelaki ini cukup menggemaskan. Bagaimana tidak, Sabiru yang ingin marah pun di buatnya geram akibat manyunan bibir Mahendra. “Apasi manyun-manyun, mau ngegoda aku biar maafin kamu?” Sabiru sebenarnya tak kuasa menahan tawa, perut nya sudah sepenuhnya kegelian.

“Iya, aku mau nyogok kamu pakek manyunan, biar di maafin” lihatlah ulahnya, bahkan bibir manis itu di buat semakin manyun.

“Udahh ahh aku ga marah, lain kali tuh bilang. Pamitan sama aku biar akunya ga bingung nyariin kamu”

“Iya iya sayang, maafin ya”

Satu kecupan mendarat di bibir Sabiru.

“Mahenn!”

“Apa sayang? Mau lagi? Yaudah aku nginep ya hehehe” lelaki ini justru asyik menyengir.

“Hemmm”

“Yeayy bolehh nginep”

Tentang Mama

“ma!! Apa-apaan si!” Teriak Sabiru di tengah keributan.

“Jadi aku anak om tio? Jadi itu alasan aku dari kecil tinggal sama nenek? Iya ma?” Tanya samudra bertubi-tubi

“Sayang, nak dengerin mama dulu”

“Terus Ayana gimana pa? Papa, Ayana hamil anak Sam pa. Gimana ceritanya Aya hamil sama abang Aya sendiri!” Teriak Ayana dengan kemarannya

Papa Ayana segera menatap anak nya lekat “Sayang, jangan marah dulu ya sama papa. Kamu bukan anak kandung papa nak, papa mengangkat kamu dari panti asuhan. Papa juga ga pernah nikah sayang, papa kesepian makanya papa angkat kamu sebagai anak papa” jelas om Tio

“Jadi? Jadi bener selama ini aku ga punya mama? Kenapa papa selalu bilang mama pasti pulang, sampai detik ini ga datang sosok mama di hadapan aku! Apaan sih pa? Apa semua ini? Kenapa bisa Sam anak papa!” Ayana meneteskan air mata nya.

“Mah jelasin mah” ucap Samudra pelan

Sabiru hanya membeku menyaksikan semua kegaduhan di depan matanya, Sabiru benar-benar tidak mengerti arti ini semua.

“Dulu, mama dan om tio kita sepasang kekasih. Awalnya memang tenang-tenang aja, sampai akhirnya nenek dan kakek kalian bilang kalo mama akan di jodohkan dengan papa kamu mal. Di situ mama bener-bener marah, ga terima, sakit hati semua nyampur jadi satu. Mau ga mau mama dan papa menikah, hati mama masih sepenuhnya milik om Tio papa kamu Sam. Kita masih cukup muda buat ngadepin itu semua, mama dan om Tio melakukan hal yang tidak sepantasnya di lakukan apalagi posisi mama yang sudah menikah dengan papa Malla”

Penjelasan mama Malla Sabiru berhenti, air mata mengalir dari mata perempuan paruh baya ini mengingatkan kembali apa yang terjadi di masa lalu.

“Mama minta maaf Samudra, akhirnya nenek sama kakek kekeh mau ngerawat kamu. Mama bener-bener ga mau tapi nenek kamu kekeh sayang, satu tahun kemudian mama hamil malla. Kalian terpisah dari kecil nak, maafin mama”

“Ma! Ini rahasia besar yang seharusnya mama jujur sama Malla sama bang Sam dari awal! Mama tau? Akibat ulah mama aku yang kena karma nya ma! Sakitt ma sakittt, aku selalu mikir apa kesalahan aku di masalalu sampai aku di kasih cobaan kaya gini, ternyata ini alasannya. Mama yang salah!!” Secepat kilat Sabiru berlari dari rumah dengan mata yang berceceran air mata.

“Nak, malla jangan pergi sayang” teriak Mama Biru.

“Mahen, Mahen iya aku harus pulang sama Mahendra” Sabiru pun segera menghubungi Mahendra.

Bincang Perihal Manis

Kini Mahendra dan Sabiru sedang berada di dalam mobil milik Mahendra.

“Sayang” panggil Biru “Heumm?”

Malam ini Sabiru ingin mengatakan hal yang bisa di bilang penting, tapi tidak untuk mengaku bahwa dirinya mengidap penyakit mematikan. Ya hanya bincang-bincang. “Kalau seandainya aku ga ada kamu gimana hen?”

Mahen yang mendengar pun kaget dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir manis kekasih nya. “Ga ada gimana sih yang, gausah ngomong aneh-aneh”

Mahendra menatap Sabiru dengan tatapan yang tidak bisa di tebak. “Kalo seandainya sayang, kamu harus cari orang baru ya? Tapi jangan di sakitin” sambung Sabiru

“Kamu tuh kenapa ngomong kayak gitu? Aku ga bakal ninggalin kamu, bir”

“Seandainya omongan kamu terjadi, kayaknya bakal susah buat aku cari pengganti” lanjut Mahendra

“Loh kok gitu sih hen”

“Liat deh, emang ada perempuan sebaik kamu yang bisa maafin kesalahan fatal aku? Emang ada yang nerima aku setelah tau apa yang terjadi antara aku, kamu, dan Ayana”

“Ya pasti ada dong sayang, ohh iya inget ga dulu kamu suka modus nganterin aku pulang padahal aku bareng Fasya” senyuman mulai muncul di antara kedua nya

“Terus aku bilang aku beli yupi buat adek aku terus adek aku ga mau”

“Padahal kamu ga punya adek hen” tawa pun terbit dari bibir Sabiru dan Mahendra

“Hahahaha! Kalo ga gitu apalagi coba yang alesannya?”

“Ya tinggal bilang, kamu beli buat aku hahaha!”

Mereka berdua tertawa renyah di dalam mobil yang sedang terparkir di pinggir jalan raya. “Langit malam kenapa indah ya mahen?”

“Iya apalagi kalau liat nya sama kamu”

Secepat kilat jemari Sabiru menyubit perut Mahendra. “Awww! Sayang sakit”

“Biarin siapa suruh kamu gombal mulu”

“Tapi kamu suka kan, liat deh Sabiru”

Biru mengerutkan dahi. “Lihat apa hen?” “Liat bintang itu, paling terang di antara bintang yang lain. Kamu tau kayak apa?”

“Kayak apa?”

“Kayak kamu, di antara berjuta-juta wanita cuma kamu yang paling terang di mata aku” Mahendra pun terkekeh melihat reaksi sang kekasih yang membeku tanpa kata.

“Sayang, kok diem si? Garing ya? Tanya Mahendra “Aneh”

“Aneh apa si by”

“Ya aneh, bisa-bisa nya kamu tuh gombal mulu daritadi”

“Aku ga gombal sayang” jawab Mahendra dengan tatapan serius. “Aku serius” lanjut Mahen sambil memegang tangan biru.

“Tangan ini, bakal aku jaga sebisa aku bir” Perlahan Mahendra mengecup punggung tangan milik Sabiru.

“Makasih buat semuanya Mahendra, makasih udah mau ngabisin waktu hari ini sama aku”

“Ga perlu makasih sayang, kamu mau pulang kapan hemm?”

“Sekarang yuk, tapi anterin kerumah mama. Boleh ga? Jauh ya? Udah deh gausah yang”

Senyum Mahendra kembali terbit. “Engga jauh sayang, aku anter ya”

Mahendra mulai mengendarai mobil nya kembali, hari ini menjadi hari yang sangat berarti bagi Sabiru.

Ternyata.

“Mahendra, buka!!” Teriak Ayana dari luar pintu apartemen milik Mahendra

Sang pemilik sekaligus biru pun kaget dengan suara yang di hasilkan oleh Ayana akibat memukul pintu terlalu keras.

“Mahen, kok kaya suara Ayana” tanya biru kebingungan “Sebentar ya sayang aku buka dulu”

Mahendra dengan segera berjalan menuju pintu depan bertujuan membukakan pintu itu untuk Ayana. “Ayana? Kenapa?”

Bukannya menjawab, Ayana malah menerobos masuk pintu yang telah di bukakan. Mahendra pun bingung apa maksut Ayana datang dengan kemarahan.

“Biru! Keluar lu dari apartemen Mahen”

“Ha? Apaan si na, gue dari tadi disini bahkan duluan gue yang nyampe. Lu kenapa dateng dateng marah si”

Ayana dengan seribu kemarahan nya mendekati Sabiru disertai jemari yang siap menjambak rambut Biru. “Keluar apa gue seret!!” Teriak Ayana

“Sakit na sakit Ayaaa”

“Ayaaa!! Apaan si kamu kelewatan tau ga!” Bentak mahen yang segera merampas tangan Ayana dari rambut Sabiru.

“Mahen!! Kamu belain dia ha?”

“Kamu yang kasar Aya, kamu ngapain narik narik Sabiru”

Otak licik nya benar benar berjalan sekarang, entah apa yang merasuki Ayana sehingga bisa senekat ini. “Aku hamil!! Ngapain kamu masih sama Sabiru!!”

DEGGG!!! Begitulah kira-kira yang Sabiru rasakan, bagai tertancap tombak hati nya benar-benar sakit. Mata indah miliknya pun sudah mulai berkaca-kaca.

“Aya? Beneran? Aku bahkan selalu main aman sama kamu. Kita terakhir kali udah beberapa bulan yang lalu semenjak aku mutusin buat setia sama Sabiru” Jelas Mahendra kebingungan, antara percaya dan tidak lelaki ini sangat bingung apa yang harus ia lakukan.

Tidak sesuai ekspektasi, Mahendra bahkan tidak sempat kepikiran jika Ayana sampai hamil. Memang jahat, tetapi tidak bisa di pungkiri Mahendra tidak benar-benar mencintai Ayana. Otak nya sudah di balut oleh nafsu saat bersama gadis di depannya ini.

“Sayang ini beneran?” Tanya Sabiru dengan suara pelan yang sedikit bergetar “Mahendra, jawab dong!” Sambungnya tetap dengan suara yang bergetar dan sedikit keras.

“Iya!! Yang ada di perut gue anak Mahendra! Kenapa? Mau marah? Harus nya gue yang marah ngapain lu masih disini sama Mahendra!!” Teriak Ayana kalap

“Ayana! Apa-apaan kamu!!” Entah sejak kapan Samudra datang, yang jelas Samudra masuk tanpa izin dari sang pemilik apartemen.

“S-sam”

“A-abang” Sabiru pun kaget kenapa ada Samudra di tengah kekeruhan ini.

“Samudra, lu ngapain kesini?” Tanya Mahendra kebingungan.

“Itu anak gue!”

Bukan kaget lagi, Sabiru benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Wanita ini senantiasa terduduk di lantai akibat syok yang ia dapatkan dari keributan Ayana dan Mahendra.

“Sini! Ngapain kamu kesini! Udah berapa kali aku bilang, jangan ngerusak hubungan Biru sama Mahendra”

“S-sam” Ayana hanya mampu mengeluarkan kata itu.

“Apa maksut semua ini? Apaan sih! Gue ga ngerti” tanya Sabiru

“Ayana, apa maksut kamu? Kamu bilang aku yang pertama. Tapi ini kenapa gini?” Tanya Mahendra yang sama bingung nya

“Sebelum dia sama lu, Ayana udah duluan HS sama gue. Dia bohong sama lu, yang ada di perut Ayana itu anak gue bukan anak lu” jelas Samudra

“Ayaa??” Mahendra tidak menyangka jika semua yang di bicarakan oleh Ayana hanya sebuah kebohongan.

“Aku suka sama kamu Mahen! Kenapa ga peka sih? Aku suka sama kamu dari awal kita ketemu waktu itu. Kamu laki-laki yang jadi alasan aku buat senyum lagi setelah pindah dari kota lama ku, dari SMA aku selalu merhatiin kamu yang duduk di bangku depan aku. Semuanya berubah pas dia datang!” Ayana dengan lantang nya menunjuk Sabiru

“Dia! Dia ngambil kamu dari aku, kenapa Mahen? Kenapa kamu milih dia sedangkan dari dulu ada aku di samping kamu?” Sambungnya

“Aya! Buka mata kamu ya! Aku juga selalu ada buat kamu pas kamu lagi sedih, pas kamu tau Mahen udah punya pacar kamu dateng ke aku Ayana. Kenapa kamu malah ngejar Mahendra yang jelas-jelas udah milih biru buat jadi pendamping nya. Stop ngejar-ngejar Mahen, ada aku ya. Sekarang ayo pulang ikut aku jangan ganggu Mahendra sama Sabiru lagi”

“Malla, maafin abang ya sayang. Tolong rahasia in kehamilan Ayana, biar abang yang ngomong sendiri ke mama” lanjut Samudra

Samudra pun pergi dan membawa Ayana keluar dari apartemen milik Mahendra. Sabiru masih syok dengan apa yang terjadi di depannya tadi hanya terdiam dengan posisi yang sama, terduduk di lantai.

“Sayang” panggil Mahendra, lelaki ini mendekati Sabiru yang tengah di ambang kebingungan dengan mata yang masih berkaca-kaca.

“Sayang, maafin aku ya udah buat kamu bingung. Maaf Biru” Mahendra pun menggapai pucuk kepala Sabiru dan di elusnya perlahan.

“Maaf bir” ucap Mahendra lagi diiringi dengan pelukan hangat untuk Sabiru. Sabiru benar-benar mematung, otaknya masih mencerna apa yang telah terjadi.

Sabiru dengan lukanya

“Biru, birr” Fasya yang secepat kilat sampai di apartemen Sabiru.

“Sabar, fasyaaa” teriak Sabiru dari dalam apartemen. Di bukanya pintu apartemen dengan santai Fasya masuk ke dalam apartemen Biru membuat pemiliknya sedikit kaget. “Hehh kenapa sih buru-buru, sabar Fasya gue gapapa”

“Engga engga, sini cepet lu duduk aja kalo perlu tiduran jangan banyak tingkah” jari lentik milik Fasya menarik jemari Biru lalu ia bawa ke sofa yang berada tepat di depan televisi.

“Ya ampun Fasya gue bilang sabar” Sabiru hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan sang sahabat.

“Mahendra mana ha? Ngapain aja dia? Ga becus jadi pacar!” Teriak Fasya secara terang-terangan

“Hehehe tadi dia pamit pergi sama Ayana” Perempuan ini malah menunjukkan gigi rapi nya di hadapan Fasya, biru tidak tau saja jika kemarahan Fasya benar-benar menggebu.

“Bir! Lu gila? Ahh sumpah gue udah ga ngerti sama jalan pikir lu. Biru, Mahen sama Aya aja pernah ngelakuin hal yang ga bener dan seharusnya lu ga maafin perbuatan Mahen. Ya ampun biru! Otak lu di pakek ga si? Jangan bikin gue emosi deh bir. Bir lu temen gue, liat lu sakit aja udah bikin gue ikutan sakit” Mata Fasya mulai berkaca-kaca saat mengucapkan kata demi kata, ia benar-benar tidak percaya Sabiru masih tetap mengizinkan Mahendra pergi bersama Ayana.

“Fasya tenang” Sabiru perlahan meraih tangan Fasya dan mengelusnya, dengan tujuan membuat Fasya sedikit tenang.

“Biar gue jelasin semuanya, Fasya lu tau kan kondisi gue udah ga baik-baik aja? Buat marah aja gue udah ga kuat sya. Cape sya, gue bahkan bingung harus gimana. Buang buang waktu ga sih kalo gue marah sama Mahendra? Berhubung gue masih ada, gue bakal manfaatin waktu gue sya. Sya, mama aja kayak nya udah ga peduli sama gue. Dengan sikap mama yang kaya gitu gue rasa, gue ga perlu marah. Karna apa? Waktu gue ga banyak sya, gue udah bener-bener ga berharap lebih. Liat Mahen senyum, liat mama bahagia, ada abang Sam di samping gue itu udah lebih dari cukup. Terutama lu sya, lu bukan hanya pelengkap bagi gue. Lu bener-bener penyempurna sya, lu selalu ada buat gue, lu mau dengerin keluh kesah gue, dan lu orang yang selalu pasang badan kalo gue ada apa apa”

Fasya terdiam, hanya air mata yang mampu berbicara. Semua bungkam bahkan bibir pun tak berani untuk melangkah. Tetesan itu semakin deras, air mata Fasya mengalir tanpa henti.

“Sya, kenapa lu nangis? Bukannya lu alasan gue ketawa ya? Kenapa sekarang lu nangis di depan gue? Lu mau bikin gue ikutan sedih?” Tanya Biru yang sebenarnya juga menahan air mata.

“Sabiru, nangis aja. Ada gue jangan di tahan bir, dateng ke gue kalo lu butuh pelukan. Bahu gue bahkan kuat buat jadi sandaran”

“Fasyaaa” Tubuh Sabiru melemas, tubuh nya benar benar rapuh mendengar kalimat yang Fasya ucapkan.

“Sya, Fasya gue cape” air mata nya kini mengiringi ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Sabiru.

“Gue tau lu cape bir, gue tau rasanya” Fasya memeluk erat bedan Sabiru, dirinya benar-benar iba menyaksikan keadaan Sairu.

“Sya... Hasil gue kontrol udah keluar”

“Mana”

“Ini” Sabiru pun menyodorkan handphone miliknya kepada Fasya, betapa kagetnya Fasya menerima hasil kontrol Sabiru di rumah sakit kemarin.

“Ya ampunnn Sabiru” air mata Fasya kembali turun dengan derasnya

“Uang hasil kerja sama tabungan gue bahkan cuma cukup untuk dua kali kemoterapi, sya. Lu sedih ga kalo gue ga ada?”

“Pertanyaan bodoh! Lu bodoh biru! Lu ngapain nanya. Bir sakit gue baca nya, lu kenapa harus gini sih. Kalo bisa tuhan ngasih semua beban lu ke gue, bakal gue terima bir. Fasya menunduk seraya memukul pelan dada miliknya.

“Cukup sya, udah jangan di pukul dada lu. Ini takdir Fasya, ini takdir gue”

Kesempatan

Setelah pulang dari market tempat Sabiru bekerja buru-buru Sabiru menuju ke taman. Wanita ini sungguh aneh, siapa yang tidak sakit jika di hianati? Ntah dia yang bodoh atau Mahen yang pandai merayunya. Biru rasa tidak, bukan karna rayuan Mahendra, ia benar-benar sudah jatuh kepada Mahendra. Bahkan rasa sayang nya melebihi rasa sakit.

“Bodoh ya gue, ini kesalahan fatal yang Mahendra lakuin tapi kenapa gue masih mau ngasih kesempatan” Sabiru berbicara sendiri dengan kuku jemari yang ia gigiti

“Kebiasaan, kukunya di gigitin” ujar lelaki dari belakang Biru membuat wanita yang terduduk di taman ini sedikit kaget “Oh mahen udah nyampe” ucap Biru pelan

Tak langsung duduk, laki-laki ini tetap berdiri di hadapan Sabiru. Mata nya yang indah senantiasa menatap mata cantik milik Sabiru.

“Duduk?” Satu kata berhasil keluar dari mulut Biru, ia saja bingung kenapa Mahendra berdiri tanpa kata dan hanya menatap nya.

“Sabiru, aku minta maaf” kalimat ini terucap, kata maaf keluar dari bibir Mahendra. Bukannya duduk, ia malah berjogkok di depan biru.

“Jangan di bawah, naik sini”

Ya sudah di ajaknya Mahendra untuk duduk, bukannya terduduk ia justru memeluk kaki biru erat dengan lirih tangisan yang terdengar di kuping biru.

“Ehh naik Mahendra ngapain, aduh naik ayo” Sabiru memegang erat bahu Mahendra dengan niat mengajak Mahendra duduk di samping nya tetapi Mahendra malah terjongkok memeluk kaki Biru.

“Biru maafin aku bir, aku kelewatan biru. Aku minta maaf buat kamu sakit, aku minta maaf buat kamu nangis biru jangan diemin aku, kasih aku kesempatan buat aku benerin semua nya. Bir, aku sayang sama kamu, aku sayang banget sama kamu, aku goblok bir ngelakuin hal itu biru maafin ya aku janji ga bakal ngulangin hal kaya gitu lagi biru maafin aku plis”

Mahendra memohon tanpa jeda dengan tangisan yang setia, air mata Mahendra terus menetes di kaki biru. Baru pertama kali ini biru melihat Mahendra menangis sejadi jadinya, Biru rasa Mahendra berhak di beri kesempatan. Bukannya manusia tidak ada yang sempurna? Semua manusia bukannya pernah melakukan kesalahan ya?

“Yaudah sini ayo naik jangan di bawah gitu, nanti di lihat orang ayo duduk di samping aku” Sabiru berusaha menarik bahu Mahendra, perlahan lelaki ini berdiri lalu duduk di samping Sabiru.

Kepala nya menunduk tak berani menatap Sabiru “Aku juga sayang banget sama kamu” ucapan Sabiru terputus

“Aku sayang kamu, aku percaya sama kamu. Aku yakin kepercayaan tuh kunci sebuah hubungan, tapi kenapa kamu ngerusak kepercayaan aku? Kamu tau kan yang kamu lakukan itu kesalahan yang fatal? Kamu tau ga, dada aku otak aku tubuh aku semua nya lelah. Dada aku sakit setiap otak berhayal apa yang terjadi, otak aku yang selalu nyetel apa aja kejadian kejadian yang terjadi sama kamu dan Ayana, badan aku cape semua. Tangan kamu, badan kamu, emmm bibir kamu bahkan seluruh badan kamu. Aku bayangin semua yang Aya pegang, yang Aya dan kamu lakuin, sakittt banget Mahen. Ga nyangka hal kaya gini terjadi, Ayana yang notabene nya temen deket kamu dan sebentar lagi dia bakal jadi saudara aku? WOWW bercanda nya dunia tuh ga main main ya sayang” lanjut Sabiru, dengan mata yang berkaca-kaca semua nya ia keluar kan detik itu juga

“Kamu inget ga? Dulu kamu dateng ke aku bawa yupi, sesederhana itu kamu buat aku terpukau. Aku ngerasa kamu benar benar berbeda hanya karena sebuah yupi. Hal itu yang buat aku takjub, di saat semua laki-laki bawa bunga dan cincin buat menarik perhatian wanita yang dia incer, tapi kami pinter Mahen ntah dari mana kamu tau aku suka banget sama yupi, kamu bawa itu ke aku itu cukup membuktikan kamu segitu tulus nya sama aku. Coba deh liat aku”

Mahendra pun menegakkan pandangan nya menatap Sabiru dengan pipi yang masih menyisakan air mata.

“Kamu dateng ke aku dengan senyuman manis kamu Mahen, kamu janji ngajak aku buat senyum bareng bareng. Kamu manis banget kalo senyum sampai sampai aku ga rela Mahen bagi bagi senyuman manis kamu, aku ga rela ada yang liat senyuman kamu. Tapi itu cukup egois bukan? Tapi kali ini mahen” ucapannya kembali terhenti

Mata Sabiru mulai meneteskan air mata, pipi nya mulai mengalir air milik sang mata. “Kali ini mahen, kamu bukan hanya bagi senyuman tapi seluruh badan kamu sayang, jari kamu yang sering aku genggam, mata kamu yang sering aku tatap, bibir kamu yang biasa kamu pakai buat nyium aku”

”.... Aku ga sanggup nerusin” Benar benar banjir, air matanya sudah tidak bisa di bendung lagi. Semua mengalir dengan deras tanpa permisi.

“Aku kasih kamu kesempatan sekali lagi, ga tau aku yang bodoh nerima kamu lagi atau kamu yang bodoh nyia-nyiain aku, hati aku masih sakit banget tapi mulut aku ga bisa nahan buat ngomong ini ke kamu, Mahendra i Miss you”

Mahendra secepat kilat memeluk Sabiru, mata Mahendra kembali banjir saat melihat wanita nya menangis. “Miss you too bir, maaf biru. Makasih udah mau ngasih aku kesempatan lagi, aku bener-bener minta maaf ya sayang”

Dua insan ini menangis tanpa henti, untung saja taman sedang sepi pengunjung.

'papa, Malla cape'

Kaki nya kembali melangkah ke tanah lembab itu. Seruan jangkrik yang berpadu ria tak membuat tekat Sabiru luntur.

Wanita ini semakin pantang untuk mundur, berdiri mematung menatap gundukan tanah di depannya kemana lagi jika bukan makam sang ayah.

“Papa, malla balik lagi” satu kalimat muncul dengan tenang. Tak di lanjutkan kalimat itu, bibirnya bungkam jemari indah mencoba mengelus batu nisan milik papanya.

Semuanya ingin ia curahkan kepada sang ayah, sayang bibir kepunyaannya masih tetap terdiam. Hati rapuh nya tak mampu membisikkan kata demi kata.

Langit pekat nan gelap tak melunturkan niatnya untuk tetap berada di gundukan tanah ini. Tak peduli apa yang berada di kanan dan di kiri wanita manis ini melipatkan kaki lalu berjongkok di tanah.

“Papa tau? Dunia sedang bercanda dengan malla” di usapnya kembali batu nisan milik ayahnya.

“Papa kenapa sembunyikan kenyataan itu? Kenyataan kalau malla punya kakak laki-laki. Malla ga akan nolak bang Sam nyatanya sosok itu yang dari dulu malla tunggu tunggu, tapi kenapa papa dan mama sembunyikan hemm? Atau malla yang terlalu jahat buat bang Sam?”

Tak bisa di pungkiri air mata Malla Sabiru mulai berguguran, kaki tiba-tiba saja menjadi lemas.

“Papa tau yang lebih lucu lagi?”

Kalimat itu terpotong, ia tak sanggup membayangkan apa yang akan ia adukan. Tidak ada yang menyuruhnya membayangkan tetapi bayangan ini selalu datang saat Biru mengingat atau mengucap dalam lisan.

“Mahendra, laki-laki yang selalu malla cerita kan saat malla datang mengunjungi papa. Dia bermain dengan sahabat wanita nya, jika itu sekedar permainan bocah cilik mungkin malla ga akan sekecewa ini. Kenapa permainan manusia dewasa sungguh menyakitkan pa?”

Tangan kanan nya menghapus beberapa tetesan air yang keluar dari mata. Bibirnya bergetar hebat tak sanggup meneruskan Kalimat.

“Ma-malla pa, ma-malla kena penyakit yang cukup parah pa”

Bahkan tangan kanan nya saja tak cukup untuk menghapus aliran air milik sang mata, air ini sungguh tidak tahu diri kenapa ia terus terusan terjatuh dari mata Biru?

“Malla nanggung semua nya sendiri pa, malla ga kuat papa. Malla kerja dari pagi sampe malem, malla bolos kuliah malla, malla ga cerita ke mama. Malla diem pa Malla mendem semuanya sendiri”

Kalimat ini ternyata bisa di teruskan kembali

“Ma-malla sakit papa malla ga kuat, papa tahu? Malla kerja buat biaya malla operasi, kadang ga jarang malla lagi kerja kepala malla kumat. Kadang buat makan pun malla ga kepikiran pa, mau seneng seneng aja malla rasa itu bukan waktu yang tepat buat sekarang”

Kedua telapak tangannya sempurna menutupi wajah manis milik Biru.

“Waktu demi waktu malla ulur biar dapet biaya buat pengobatan malla, kepala malla makin sakit pa. Setiap hari makin parah sakit nya”

Tanpa sadar wanita ini memukul kepalanya sendiri, rasanya sangat frustasi. Jika kepala bisa di ganti mungkin akan ia ganti saat itu juga, benar-benar tak berhenti Sabiru memukul kepala nya dengan tangisan yang semakin kuat.

“Malla!!!” Teriak sosok lelaki dari kejauhan berlari mendekat kearah Malla Sabiru.

“Malla kenapa kepala nya di pukul pukul stop malla stop udah sayang nya Abang udah jangan dek sakit itu sakit” Lincahnya tangan Samudra memegangi tangan biru yang tak henti memukul kepalanya sendiri

“Abangg malla capek bangg malla capekk” teriak histeris biru dengan telapak tangan di wajah yang sudah menyingkir.

“Ada abang sayang ada abang, Abang ga kemana mana malla abang disini buat malla” Di rentangankan tangannya dan tanpa izin Samudra memeluk erat tubuh sang adik.

“Sayang capek ya? Malla capek? Malla nangis kaya gini buat abang ikutan nangis malla”

Elusan tangan Samudra di kepala Biru membuat Sabiru merasa aman dan nyaman benar-benar seperti abang yang menjaga adiknya.

“Nangis sepuasnya malla, kapan pun malla mau nangis abang ada buat malla. Kalau perlu kita nangis sama-sama biar abang juga ngerasain sakitnya malla”

“Abang malla ga kuat mau nyusul papa, malla malla capek abang” benar-benar histeris tangisan malla tidak pudar sedikit pun.

“Hussss kamu ngomong apa sih malla, sadar malla itu ga bener sayang”

Pepohonan rindang serta jangkrik-jangkrik di sekitar menjadi saksi sakitnya yang Sabiru rasakan sekaligus menjadi saksi bahwa Samudra benar benar menjadi sosok kakak yang sebenar benarnya.

Bicara tanpa kata ___________

Malam tak lagi indah, angin tak lagi sejuk di kulit biru. Langit beserta bintang yang menjadi alasan nya tersenyum pun tak lagi membuatnya tersenyum. Di sepanjang trotoar Malla Sabiru menyusuri jalanan dengan langkah perlahan, kaki lemas, wajah berantakan. Tak lagi ada alasan untuk dia tertawa, semua nya sangat suram menurut biru.

Benar benar tidak ada.

Mata nya menyorot jalanan, dengan jaket besar kepunyaannya berhasil menutupi seluruh badan beserta rambut Malla Sabiru. Mata nya masih saja meneteskan air mata, jalanan sepi hanya beberapa kendaraan roda dua yang lewat tanpa peduli.

Sesekali siulan burung memanggilnya untuk memalingkan pandangan Biru terhadap jalan tetapi nihil. Mata bulat nya tetap berfokus kepada jalan dan tangisan.

Sesampainya di sebuah lampu jalan Sabiru berhenti dan terduduk di bawah tiang nan dingin itu.

Krikil pun jadi sasaran empuk Sabiru. Tanpa tahu salah batu, Sabiru asyik melempar krikil ke sisi sisi jalan. Jemarinya bergulat mengambil batu batu tanpa dosa.

“Mallaaaa!!!!” Teriak lelaki dari jalan dengan kendaraan roda dua, betapa kagetnya lelaki ini melihat Malla Sabiru di pinggir jalan dengan posisi berjongkok di bawah lampu. Dengan segera lelaki ini mendekati Biru dan menuruh motor nya di segala tempat.

“Sam? S-samudra” lirih pelan Sabiru saat melihat samudra mendekat ke arahnya. “K-kok? Manggil Malla?” Ya, wanita ini kaget pasalnya tidak pernah ada yang memanggil nya dengan nama depan selain orang tua dan sanak saudara.

“Ga penting, lu ngapain disini hemm? Ya ampun malla mukak lu berantakan. Sakit ya? Sini peluk maafin abang malla maafin”

Tambah kaget, wanita ini terkejut saat Samudra menyebut kata Abang. Apa maksut Samudra sebenarnya.

“Abang?”

“Tenangin pikiran ya Malla, maafin abang” Samudra tak membiarkan adiknya terdiam, segera Samudra peluk Sabiru dalam dekapan nya. Kepala Sabiru pun di elus tanpa permisi, air mata yang jatuh di elap nya tanpa kata.

“Malla kenapa sayang? Bilang sama Abang kenapa?” Sabiru yang bingung tak peduli lagi apa arti kata abang, dikeluarkan nya ponsel untuk menunjukkan chat nya tadi bersama Lala teman se shift nya tanpa banyak bicara Samudra mengambil handphone Sabiru.

“Brengsek!!” Teriak Samudra penuh emosi

“Sam-samudra gue harus apa” tanya Sabiru gagap

“Sekarang pulang ke apartemen, tenangin diri jangan di pikirin. Yuk Abang anter”

Sampai sekarang pun Sabiru tak mengerti arti abang yang keluar dari mulut Samudra.